Tanganku mulai terasa pegal setelah cukup lama bergerak menulis di atas kertas hingga berlembar-lembar. Sedari tadi aku aku hanya menghabiskan waktu dengan duduk bersandar di tempat tidur, sibuk dengan isi kepalaku sendiri. Sedang tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan, jadi aku memilih menulis saja.
Keriat pintu kamar mandi yang mengayun terbuka membuatku mengangkat wajah dari lembaran notebook di pangkuanku. Pipiku langsung memanas melihat Mark keluar hanya memakai handuk yang dililitkan ke pinggang. Sekilas aku melihat otot perutnya yang lumayan kencang, meski tidak sampai seperti roti sobek layaknya perut bintang iklan minuman berenergi. Namun otot perut Mark sudah cukup untuk membuatku merasa sesak napas, ditambah lagi dengan dada bidangnya yang kini terpampang begitu saja dan belum dikeringkan dengan sempurna. Rambutnya juga masih basah dan agak menetes-netes.
Cepat-cepat aku menunduk memandangi tulisanku lagi.
Ya ampun...
"Sepertinya sedang seru sekali," Mark berkomentar.
"Hm." Aku menjawab tanpa menatap Mark, berpura-pura lanjut menulis.
Telingaku menangkap bunyi pintu lemari terbuka, selanjutnya, aku mendengar sebuah siulan ceria.
Diam-diam, aku mengangkat wajah lagi. Mark sedang memunggungiku sembari menatap ke dalam lemari untuk memilih pakaian. Lama sekali. Ia terus bersiul.
"Bisa lebih cepat sedikit tidak?" tanyaku kikuk.
Mark menoleh, senyuman miring terbit di wajah segarnya. "Memangnya kenapa?"
Aku memutus kontak mata untuk menghindari perkara. Mark mudah sekali dipancing. "Nanti kau masuk angin," jawabku singkat sembari menggerakkan pulpenku menggambar kepala kucing kecil yang sangat tidak proporsional.
"Wajahmu merona sekali, Clavina." Mark bergumam iseng.
Apa-apaan!
Mark malah melangkah menghampiriku dengan senyum menyebalkannya. Aku menyesal sekali telah memintanya untuk bergegas berpakaian. Ia malah berniat untuk menggangguku sekarang.
Punggungku melorot dari sandaran bantal. Kututup wajahku dengan notebook saat Mark sudah berdiri di hadapanku. "Mark! Jangan berjalan-jalan hanya dengan mengenakan handuk begitu!"
"Hey... memangnya kenapa?" tanya Mark dengan nada sengaja memojokkan. Ia lalu duduk di sisi ranjang, membungkuk, lalu menggelitik pinggangku habis-habisan.
Aku terkikik sembari menggeliat untuk menghindari gelitikan Mark. "Mark! Berhenti!"
Notebook-ku sekarang sudah terlempar entah ke mana. Wajahku merah padam melihat Mark menggelitikiku hanya dengan memakai selembar handuk.
Mark tersenyum jahil. Ia semakin gencar menggelitikku, tidak peduli bagaimana usahaku untuk melepaskan diri.
"Mark! Nanti handukmu melorot!" protesku di sela kikik derita. Aku mencoba menutup mataku dengan kedua tangan, namun aku tidak bisa menahan rasa geli di pinggang dan perutku jadi kugunakan tanganku untuk menepis Mark, yang mana hasilnya tentu sia-sia saja.
"Lalu?" Mark malah menantangku. "Lagipula kau ini lucu. Sudah berapa lama kita tinggal bersama, Clavina? Bisa-bisanya kau masih malu-malu sekali di depan suamimu sendiri." Ia malah meledek habis-habisan, namun akhirnya menghentikan gelitikannya.
Napasku terengah karena terlalu banyak terkikik dan lelah berusaha memberontak. Tempat tidur yang sudah kurapikan jadi berantakan lagi karena tadi aku bergulingan. Sembari berbaring, aku menatap Mark yang masih tersenyum iseng.
"Wajahmu semerah tomat." Seringaian Mark melebar.
Jika saja aku tidak mencintai sosok laki-laki di hadapanku ini, aku pasti sudah menimpuk kepalanya keras-keras dengan notebook.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...