27. Fix You

1.7K 333 74
                                    

Hari masih pagi sekali. Hujan turun lumayan lebat dan cuaca terasa dingin menggigit. Aku melangkahkan kaki ke teras belakang dan menemukan Mark di sana, sedang berdiri memunggungiku di antara dua tiang teras menghadap undakan batu. Kedua tangannya memegangi kamera, membidik ke arah hutan di halaman belakang yang tampak sangat berkabut.

Jantungku berdetak cepat. Ada yang terasa berbeda saat memandang Mark di pagi hari setelah pengakuan semalam di bawah langit berbintang.

Ini adalah pagi pertama aku terbangun dan menyadari bahwa kami saling mencintai.

Mark menunduk selama beberapa saat. Ia memeriksa hasil jepretannya dengan tatapan teliti, gestur itu mempertegas garis bahunya yang tampak kuat.

Hujan, kabut, dan dua tiang teras belakang yang membingkai figur kokoh Mark; dari tempatku beRdiri, semua itu seperti menciptakan sebuah puisi visual.

Mark menoleh saat aku melangkah mendekat. Ia langsung mengarahkan kameranya, membidikku, lalu menjepretku begitu saja. Ia tersenyum tipis melihat hasil fotonya. Mark kemudian mengangkat wajah, menatapku hangat. "Selamat pagi."

"Aku baru bangun tidur. Sangat tidak layak untuk kaupotret." Suaraku masih terndegar agak lesu akibat sisa kantuk.

"Kau terlihat menggemaskan saat baru bangun tidur begitu. Mata sayu, piyama berbalut sweter kebesaran, dan sepasang sendal bulu. Terlalu sayang jika tidak diabadikan." Mark tersenyum aneh.

Aku benar-benar tidak mengerti Mark.

"Kau hari ini ingin sarapan apa?" tanyaku. Aku belum punya cukup energi untuk berusaha merebut kamera Mark.

"Bisakah hari ini kita tidak terburu-buru?" gumam Mark enggan. Ia lalu mengulurkan tangannya kepadaku. "Temani aku sebentar."

Dengan malu-malu, kuraih tangan Mark. Ia mengajakku berdiri di sisinya. Kupandangi hutan yang jauh, tampak letih dan kedinginan.

"Semalam kau tidur nyenyak sekali." Mark tiba-tiba bergumam seraya mengerlingku. Senyuman tipis terukir di bibirnya.

"Benarkah?" tanyaku hati-hati, khawatir aku mendengkur atau semacamnya.

Mark mengangguk. "Sangat tenang. Seperti bayi."

Aku bernapas lega. Tenang. Berarti tidak mendengkur.

"Entahlah," ujarku ringan bersama semilir angin segar yang menggelitik wajah dengan sambil lalu. "Semalam entah mengapa tempat tidur terasa nyaman sekali. Bahkan, tadi aku seperti perlu menyeret tubuhku untuk bangun."

"Kau mau kembali ke tempat tidur?" Mark menawarkan. "Cuaca sedang buruk, lagi pula."

Aku menggeleng. "Aku harus menyiapkan sarapan."

"Hari ini aku saja yang membuat sarapan. Kau sudah mengambil seluruh giliranmu minggu ini. Kau bisa makan di tempat tidur jika kau mau, bagaimana?" Mark mengusulkan dengan raut antusias.

"Aku tidak mau terlihat seperti orang sakit," tolakku halus. Aku menyilangkan tangan di depan dada karena mulai kedinginan.

"Well, anggap saja sedang liburan. Sarapan di ranjang, bermalas-malasan seharian penuh... aku juga sedang tidak punya pekerjaan untuk diselesaikan hari ini. Aku ingin bersantai-santai saja." Mark menoleh, memperhatikanku untuk beberapa saat. "Dingin?"

Tangan Mark yang tidak memegangi kamera tiba-tiba merangkulku. Diusap-usapnya bahuku dengan lembut untuk menyalurkan hawa hangat.

"Aku tidak apa-apa, kok." Aku berujar sembari berusaha menyembunyikan semburat kemerahan yang mulai muncul di kedua pipiku.

"Kau mau kita masuk sekarang?" Mark menoleh, memperhatikanku lekat-lekat.

Kugelengkan kepalaku. "Sebentar lagi saja. Pemandangannya sedang indah sekali pagi ini."

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang