[5] Dream

14 7 0
                                    

"Langit, apa kau baik-baik saja?" tanya Mahesa kepadanya.

"Huh? Ya, aku baik-baik saja."

"Kau yakin?"

"Iya."

"Kereta api ... ada apa sebenarnya dengan hal itu?" tanya Mahesa.

"Kau tahu 'kan tujuanku kemari."

"Iya."

"Di mimpiku ... Aku mengingat dengan jelas ada kereta api dan kereta itu meledak begitu saja saat kereta itu mulai berjalan. Aku hanya ingat sampai di situ saja. Setelahnya yang kurasakan tubuhku seperti terkena ledakan itu. Dan mimpiku berakhir."

"Apa mungkin ... akan terjadi kecelakaan kereta api?" tanya Mahesa ragu.

"Aku tidak yakin. Mimpi itu tidak terlalu jelas. Aku takut itu menjadi kenyataan."

"Daripada kita menakuti hal itu, lebih baik kita mencegahnya 'kan?" celetuk Mahesa.

"Kau benar, tetapi bagaimana?"

"... Aku juga belum tahu. Kenapa harus kita? Padahal kita tidak pernah melakukan hal yang aneh," sahut Mahesa. Pria itu memijit pelan pelipisnya, entah kenapa pusing mendadak melandanya.

***

Daffin duduk di lantai kamarnya dan memulai percakapan, basa-basi seperti biasanya, "bagaimana hari kalian?" tanyanya. "Tidak ada yang spesial, seperti biasanya," jawab Arga. 

"Hanya bangun tidur, kerja, makan, pulang, tidur. Membosankan dan melelahkan," imbuhnya. 

"Tapi sepertinya, akan lebih baik bila dia tidak membuat masalah setiap hari,"  Arga membatin sembari meneguk air putih dari gelas kaca berukuran sedang milik Daffin.

Mahesa menyahuti ucapan Arga, "dan kau masih bertahan dengan hal membosankan itu."

"Untuk bertahan hidup, tentunya."

"Bagaimana dengan yang lain?" ia kembali menanyakan hal yang sama. Langit menjawab, "aku sudah mulai bekerja."

Mereka berlima sedang berkumpul saat ini seperti biasanya, setiap satu minggu berlalu maka mereka akan berkumpul bersama. Kali ini semuanya bertemu di rumah Daffin. Bertemu untuk sekedar bertukar cerita palsu, keceriaan palsu.

"Aku rindu dengan tempat kelahiranku," perkataan Sagara membuat semua pasang mata mengarah kepadanya.

Arga menghela napasnya sebelum membalas sahutan Sagara, "mendengarmu seperti itu, aku jadi ingin liburan. Omong-omong, kapan kalian ada waktu luang?"

Jawaban Daffin, Mahesa serta Sagara sama persis, mereka selalu memiliki waktu luang kapan pun. Bisa dibilang 24 jam adalah waktu luang mereka. Mungkin terlihat seperti mereka sangat luang dan tidak memiliki pekerjaan. Meski begitu, ketiga pria itu sibuk dengan hal yang tidak diketahui siapa pun. Lain halnya dengan Langit. Pria tampan itu mengatakan bahwa hari liburnya hanya di hari Minggu. Layaknya pekerja kantoran biasa.

"Mudah sekali ya untuk bertemu dengan kalian," papar Arga.

"Tentunya. Menjadi pengangguran tidak seburuk itu," ungkap Mahesa.

"Hey. Mau liburan?" ajak Daffin.

"Sangat. Tetapi sulit untuk mengambil libur," Arga menghembuskan napasnya.

"Kalau begitu ayo kita liburan sama-sama saat kalian mendapatkan libur. Natal nanti bukannya ada hari libur?" tanya Daffin.

"Harusnya ada. Mungkin beberapa hari. Namun, kembali lagi ke perusahaan," jelas Langit.

"Aku tidak yakin perusahaanku akan memberikan libur," kata Arga yang langsung mendapatkan protes dari keempat sahabatnya. Dengan segera, pria itu menjelaskan lebih lanjut kepada sahabatnya mengenai alasan mengapa besar kemungkinan perusahaan tempatnya bekerja tidak akan memberi hari libur.

"Perusahaanmu gila!" cibir Mahesa.

"Lagi pula aku membutuhkan uang untuk bertahan hidup, teman."

"Pada akhirnya semua berujung kepada uang," gumam Sagara.

"Apa yang kau ucapkan, Aga?" tanya Langit. Sagara dengan cepat melambaikan kedua tangannya di udara. Menolak untuk memberi tahu apa yang ia gumamkan tadi.

"Kau tidak akan memberitahu mereka?" bisik Mahesa kepada Langit. Pria tersebut menggelengkan kepalanya pelan. Bagaimanapun ia tidak bisa mempercayai semua orang. Termasuk Mahesa sendiri. Namun, pekerjaan Mahesa membuatnya bisa percaya kepada pria itu.

Dia tidak yakin bila kecelakaan yang terjadi di mimpinya itu benar murni kecelakaan atau disengaja. Intuisinya mengatakan bahwa kecelakaan itu disengaja. Entah lah tetapi selama ini dia selalu memimpikan hal yang disengaja. Kecelakaan yang disengaja, pembunuhan yang disengaja, dan lainnya.

Tanpa ia sadari, mimpi yang selama ini ia alami itu menanamkan hal yang tidak baik di pikirannya. Atau mungkin karena keluarganya juga. Keluarganya membuat dia tidak bisa percaya dengan siapa pun.

Kalau dipikirkan kembali ... Langit sudah hidup hampir dua puluh delapan tahun. Semua hal buruk ia dapatkan dari keluarganya atau mungkin ada hal baik juga. Tapi ia tidak sadar dengan itu. Rasanya dari lahir anak tunggal itu tidak pernah merasakan kasih sayang. Justru orang itu yang mendapatkan banyak sekali kasih sayang. Mungkin berlebih hingga tumpah.

Langit tidak membencinya. Meski begitu, Langit juga tidak menyayanginya. Adil bukan? Dia tidak pernah mengganggu hidup orang itu maka orang itu harusnya tidak mengganggu hidupnya juga.

Meskipun kita melakukan hal yang adil. Bukan berarti kita juga mendapatkan hal yang sama. Orang itu justru mengganggu hidupnya. Apakah di masa lalu, Langit melakukan dosa besar hingga ia harus mendapatkan semua ini di masa sekarang?

Sepertinya kehidupan di masa lalu benar ada. Karena dosa yang ia perbuat di masa lampau itulah yang membuatnya mengalami semua hal menyakitkan ini. Sayang sekali dia tidak tahu sama sekali tentang itu.

Mungkin dia tidak tahu. Tetapi ada orang lain yang tahu bagaimana hidup masa lalunya. Beserta segala dosa yang ia lakukan. Tentu orang lain itu sangat paham. Karena dialah  yang membuat Langit melakukan semua dosa tersebut.

Apakah dia  merasa bersalah?








Tentu.


























































Tentu tidak sama sekali.

Dia bangga dengan hal itu.






To Be Continued

Publish: 9 Juni 2021

Revisi: 10 September 2021

Given Taken | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang