[27] Celah Kecil

7 1 0
                                    

Langit dan Mahesa dalam perjalanan menuju rumah Daffin. Keduanya masih ragu apakah Daffin benar sang penjahat. Namun, dari semua yang sudah terjadi, entah kenapa perlahan spekulasi yang mereka dapatkan, semuanya tertuju pada Daffin. Langkah terakhir yaitu mencari bukti untuk menentukan siapa si penjahat.

Di perjalanan, tidak ada yang memulai pembicaraan, suasana di antara keduanya sunyi dan senyap. Berbanding terbalik dengan keadaan di sekitar mereka yang ramai dan penuh dengan keributan, suara tawar menawar antara penjual dan pembeli memenuhi rungu mereka. Jalanan kota seperti biasa terdapat orang-orang dengan topi tinggi bermahkota datar untuk para pria dengan pakaian formal mereka. Wanita-wanita menggelung rambut mereka di atas ataupun di belakang kepala, kemudian mengenakan crinoline. Ada pula yang mengenakan setelan rok dengan blazer dan set pakaian kerja miliknya, tak lupa rambut yang menjuntai lurus, ikal, dan beragam lainnya.

Penjual koran menyodorkan koran miliknya kepada beberapa orang yang melewatinya, tak lupa untuk berteriak memberitahu penduduk mengenai berita eksklusif hari ini. Penjual itu menyodorkan koran kepada Langit dan disambut dengan baik, ia memberikan beberapa koin kepada penjual itu.

Ia berjalan sembari membaca koran, jalan menuju rumah Daffin telah masuk ke dalam ingatannya. Seakan tahu bila ada orang yang melaluinya, ia bergerak ke kanan ke kiri, menghindari orang yang berlalu lalang dengan pandangan yang terfokus kepada koran.

"Bagaimana bisa kau tahu kapan harus menghindar dan berjalan dengan cepat atau lambat?" tanya Mahesa dengan keningnya yang berkerut.

"Bayangan."

"B-Bagaimana?" Ia linglung saat Langit menjawab dengan bayangan, ia melihat bayangan orang-orang namun tidak terlalu jelas dan juga bagaimana mungkin ia bisa melihat arah bayangan seseorang sambil membaca koran, bahkan matahari belum keluar sepenuhnya akibat awan kelabu itu menutupnya.

"Arah bayangan orang-orang, aku tinggal menghindari arah bayangan itu."

"Tapi, matahari belum keluar sepenuhnya karena awan kelabu. Bahkan aku tidak bisa melihat dengan jelas."

"Pakai lensamu. Kau jarang sekali memakai lensa mata, padahal pandanganmu tidak jelas!" celetuknya.

"Matamu luar biasa, Langit," puji Mahesa, yang sebenarnya hanyalah dalih dari ucapan Langit yang menyuruhnya untuk memakai lensa kontak.

"Jangan mengalihkan perkataanku, Sa."

"Iya iya."

"Kemana lensamu?"

"Ada di rumah. Aku tidak nyaman bila memakai lensa terlalu lama."

Langit berbelok ke kanan yang tentunya membuat Mahesa kebingungan lagi karena rumah Daffin masih jauh. Kenapa dia berbelok dan memasuki sebuah toko kacamata?

"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya salah satu pegawai yang ada di sana. Untungnya toko ini sudah buka.

***

"Jangan pernah lepaskan lensa itu, kecuali kau sudah tidak terlalu memerlukannya."

"Siap, Tuan."

Langit mendesis pelan, sementara Mahesa tertawa saat melihat wajah Langit yang berubah. Pria itu tidak suka bila ia dipanggil dengan panggilan formal oleh temannya yang termasuk dekat seperti Mahesa dan yang lain.

"Bagaimana bila ternyata, Daffin adalah pembunuh dan dalang dari segala kejadian pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini?" tanya Mahesa. Terdengar nada ragu dari cara bicaranya.

"Dia harus ditangkap. Hal dasar seperti itu kau tidak tahu? Bukankah kau agen?"

Mahesa menghembuskan napasnya lelah, "aku tahu. Tapi bagaimanapun dia adalah teman kita."

"Tidak ada kata 'teman' bila salah satunya adalah pengkhianat. Apalagi bila dia adalah pembunuh yang keji dan berdarah dingin, tanpa ragu membunuh temannya sendiri serta anggota keluarga mereka."

"Apakah teman yang seperti itu masih bisa kau anggap sebagai teman?" tanya Langit kepada Mahesa.

" .... "

"Tidak ada gunanya menganggap dia seorang teman bila ia tidak menganggap kita seperti itu."

"Sadarlah dengan kenyataan. Ingat pekerjaanmu. Lupakan segala kenangan kita selama ini. Orang jahat harus dibasmi."

Keduanya berhenti di depan sebuah pintu rumah yang familiar bagi mereka. Mengetuk pintu dan masuk ke dalam saat Daffin membukakan pintu dengan senyum lebar miliknya, menampakkan lesung dalam dan mata bulan sabit miliknya. Mahesa suka heran, bagaimana bisa cacat di kedua pipi Daffin terlihat begitu indah.

"Aku sangat merindukan kalian!" pekiknya girang saat melihat keduanya duduk di lantai kamarnya.

"Aku pun. Kita sudah lama tidak bertemu," ujar Mahesa.

"Omong-omong, apa kau sudah mengunjungi Arga?" tanyanya penasaran setelah mengingat ia tidak menemui Daffin saat pemakaman.

"Sudah. Aku mengunjunginya keesokan harinya. Butuh waktu bagiku untuk menerima segalanya, terasa tidak nyata."

Ia tersenyum kecut, Mahesa bisa melihat matanya yang bengkak dan kamarnya yang sedikit berantakan. Tampaknya pria itu menangis dalam waktu lama. Dia membalas dengan senyuman tipis.

"Oh iya! Hampir saja aku lupa untuk menjamu kalian."

"Aku akan mengambil minuman."

Daffin bangkit berdiri meninggalkan kamarnya tak lupa menutup pintu kamar dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman untuk keduanya. Di dalam kamarnya, baru saja Langit akan menepuk pelan tangan Mahesa, pria tersebut sudah berdiri dan berjalan dengan pelan menuju dinding kamar Daffin. Keduanya bertatapan saat Mahesa berbalik, seakan mengerti dan paham dengan apa yang ada di pikiran Mahesa, Langit menganggukkan kepalanya dengan yakin.

Netra keduanya kini beralih kepada sebuah celah di dinding hitam kamar pemuda tinggi itu. Ada celah kecil di sana, dan saat Mahesa akan membuka pintu itu, ia bisa mendengar derap langkah pria tinggi tersebut dan segera duduk kembali di tempat duduknya.

Jantungnya berdegup kencang, deru napasnya memburu, Langit menenangkan pria itu. Entah apa yang dilihat Mahesa sampai ia begitu panik, namun bila itu adalah hal yang penting. Maka mereka tidak boleh ketahuan oleh Daffin. Jangan sampai. 

Daffin memasuki kamarnya dengan tenang dan meletakkan nampan itu ke atas lantai, membiarkan kedua temannya meminum air putih tanpa rasa tersebut. Mahesa tersenyum mengucapkan terima kasih dan meneguk air tersebut sembari menenangkan detak jantungnya yang berdetak dengan cepat.





"Penjahat itu kau ternyata,"  batin pria itu yang tengah duduk bersila sembari berbicara dengan pria di hadapannya.











To Be Continued

Publish: 29 Juli 2021

Revisi: 22 September 2021

Given Taken | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang