"Teman-teman, aku merasa aneh dengan telepon tersebut."
"Masih kau pikirkan, Aga?" tanya Arga. Sagara mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya.
"Rasanya aneh, pertama dia tahu nomor teleponku. Kedua, dia bahkan tahu namaku."
"Aku merasa ini ada kaitannya dengan mitos itu, melihat bagaimana dia berterima kasih karena aku sudah mengingat itu. Bahkan, dia tahu bahwa aku menceritakan mitos itu kepada kalian."
"Bagaimana dengan suaranya?" tanya Mahesa.
"Hmm ... berat? Seperti suara orang berumur 30-an, aku belum pernah mendengar suara itu. Terasa asing."
"Sepertinya bukan salah satu dari kita," ucap Daffin.
"Tetapi bisa saja dia menggunakan alat pengubah suara," sahut Mahesa.
"Kau benar." Sagara mengangguk-angguk setuju dengan ucapan Mahesa.
"Tapi untuk apa kita melakukan itu?" tanya Arga.
"Kita semua juga pasti sibuk dengan kegiatan sehari-hari."
"Iya juga. Lagian tidak mungkin kalian melakukan itu kepada satu sama lain," ujar Sagara.
"Kita sahabat bukan ... ?"
"Tentu saja!" Mahesa memekik tertahan, takut dimarahi Langit bila dia teriak karena posisi Langit ada di sebelahnya.
"Tidak usah teriak begitu, bodoh."
"Hehe, maaf aku terlalu bersemangat." Mahesa mengusap tengkuknya sambil meminta maaf kepada Langit.
Sagara mengusap wajahnya kasar, dia tidak suka hal seperti ini. Dia tidak suka bila hal ini merusak hubungan persahabatan yang sudah lama terjalin. Ingin rasanya dia kembali ke Andromeda, tetapi tidak bisa. Bila dia kembali ke sana, dia akan diincar oleh mereka lagi. Masa lalunya akan terulang kembali. Hanya di sini dia merasa aman. Bersama sahabatnya.
Arga yang melihat Sagara, mengusap pelan punggungnya. Dia memeluk Sagara dari samping dengan tangannya yang masih mengusap punggung Sagara tanpa henti. Berharap dia bisa tenang dan tahu bahwa ada mereka di sini, mereka yang siap menjadi rumahnya. Mereka yang setia di sisinya. Mereka yang akan membantunya.
Sagara menoleh saat Arga memeluknya, dia membalas pelukan Arga dengan erat. Dia menenggelamkan wajahnya ke leher Arga. Arga selalu bisa membuatnya merasa aman dan tenang. Bagi mereka, Arga seperti orang tua mereka.
"Aku takut ...." lirih Sagara yang bisa didengar oleh Arga.
"Tidak apa-apa, ada kita di sini." Arga menepuk pelan punggung Sagara.
"Teman-teman." Atensi mereka teralihkan ke Sagara. Wajahnya begitu serius tidak seperti biasanya.
"Aku ...."
"Ada apa?" tanya Mahesa karena Sagara sedari tadi tidak melanjutkan ucapannya. Sagara menatap wajah keempat sahabatnya, dia tersenyum tipis. Dia sudah membuat keputusan terakhir. Tekadnya sudah bulat.
"Aku akan pulang ke Andromeda," ucapnya yang membuat mereka semua terkejut, termasuk Langit. Sagara sendiri bingung dengan dirinya yang memutuskan ini. Tetapi tidak ada jalan lain. Hanya ini satu-satunya jalan terakhir.
"Kenapa? Kenapa kau mendadak ingin pulang ke Andromeda?" tanya Arga.
"Aku ... tidak merasa aman kalau berada di sini. Telepon itu membuatku merasa tidak aman."
"Kita ada di sini, Aga. Kita akan melindungimu dari apa pun," ujar Daffin.
Sagara menggeleng pelan, ia masih setia menampilkan senyum terindahnya. "Aku butuh waktu sendiri sepertinya, aku akan tetap menghubungi kalian kok. Jangan takut."
Entah kenapa hati mereka terasa sakit. Mereka akan kehilangan satu sahabatnya. Sagara memang tetap menghubungi mereka nantinya. Tetapi mereka tidak akan bisa berkumpul bersama lagi. Di saat mereka berkumpul, pasti ada yang berbeda. Akan ada rasa kehilangan dan kesepian. Karena mereka bahagia ketika mereka semua lengkap, tepat lima orang. Rasanya akan berbeda bila salah satu dari mereka tidak ada.
"Maaf, aku membuat suasana menjadi canggung seperti ini."
Mahesa tersenyum, "tidak apa-apa. Kami akan terima apa pun keputusanmu."
"Lagian kita juga masih bisa berhubungan."
"Janji ya, jangan menghilang saat kami mencarimu. Selalu beri kami pesan. Kami menyayangimu. Selalu dan selamanya." Mahesa memeluk Sagara erat. Kali ini berbeda.
Dia memeluk erat Sagara dengan penuh rasa tidak ingin kehilangan. Perasaan itu bisa Sagara rasakan. Pelukan ini begitu berbeda dengan pelukan sebelumnya. Pelukan sebelumnya adalah pelukan penuh rasa bahagia. Tapi kali ini, yang terasa hanyalah pelukan penuh rasa kesedihan.
Air matanya turun pada akhirnya. Dia akan merindukan pelukan ini. Dia akan merindukan sifat mereka yang aneh. Dia akan merindukan aroma tubuh mereka yang terasa nyaman. Dia akan merindukan segala ocehan dari Mahesa. Dia akan merindukan segalanya.
Ia menangis tanpa isakan, tidak ingin mereka tahu bahwa ia sedang menangis. Tapi Sagara tetaplah Sagara yang hatinya lemah. Isakan tangisan mulai terdengar tanpa henti di kamar Langit. Mereka berusaha menahan tangisan mereka. Rasanya sakit saat mendengar isakan tangis dari Sagara.
Pria itu orang yang lembut hatinya. Terlihat lugu, polos, dan lucu. Hatinya sangat lembut sampai di saat ia dibenci banyak orang, ia tetap memberikan senyuman terindahnya. Mereka tidak rela harus melepaskan pria ini.
Mata Mahesa berkaca-kaca, sama halnya dengan Daffin dan Arga. Air mata Daffin turun begitu saja tanpa izinnya. Ia segera mengusap kasar air mata tersebut. Arga masih bisa menahan tangisannya. Mahesa, pria itu sudah menangis. Dia tidak sanggup menahan tangisannya. Langit, mungkin orang-orang yang melihatnya menganggap ia tidak merasa sedih. Tetapi Langit adalah orang yang sangat hebat dalam menyembunyikan perasaannya. Di luar wajahnya terlihat datar. Tetapi sebenarnya, dadanya terasa sangat sakit. Dia tidak tahu rasa sakit apa ini. Pertama kalinya ia merasakan ini. Rasanya sakit. Perih. Sulit untuk bernapas.
Ia memeluk Sagara dan menepuk pelan punggung pria tersebut. Dia mengalihkan pandangannya ke luar kamar. TIdak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.
"Menangislah jika itu bisa membuatmu merasa lega. Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang," ujarnya. Mendengar ucapan Langit, tangisan Sagara semakin pecah. Untuk kali ini, biarkan dia menangis sepuasnya. Biarkan dia meledakkan emosi yang ia simpan selama ini.
To Be Continued
"Pokoknya menurutku, kalau emosi kita dibiarkan meledak. Setelahnya kamu bakal merasakan adanya ketenangan."
-Kang Taehyun from Tomorrow X Together
Publish: 14 Juli 2021
Revisi: 15 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Given Taken | END
Mystery / ThrillerGiven And Taken. Bukan Given or Taken, karena itu adalah hal yang mutlak. Ini bukanlah sebuah pilihan yang bisa dipilih sesuka hati, ini sebuah keharusan. _____ Itu bukan mitos, itu adalah kenyataaan. Namun bagi rakyat Magellan, ini adalah sebuah mi...