[14] A Home That Broken

6 0 0
                                    

Peringatan!
Terdapat aksi kekerasan, dan darah. Diharapkan pembaca tidak meniru dan bijak dalam membaca.

"Kemana kah Anda akan pergi wahai tuan muda Bramantyo?" seruan itu terdengar dari arah tangga. Pria itu memejamkan matanya sejenak berusaha menenangkan diri untuk menjawab. Ia berbalik menatap lembut wanita yang sedang menuruni tangga melengkung. Tatapannya lembut lain dengan ucapannya. Mengikuti ajaran sang wanita.

"Bukan urusan Anda, Nyonya Bramantyo. Tidak perlu menghabiskan waktu Anda yang berharga untuk saya."

"Tidak bisakah Anda berhenti ke rumah pria itu?"

Dia tidak menjawab pertanyaan sang Ibu dan segera berjalan menuju pintu rumah sembari membawa tas yang entah apa isinya. Ia memakai tas punggung hitam miliknya. Isinya tidak terlalu banyak jadi terasa ringan saat ia memakainya.

"Hei!" wanita itu memekik, dia menahan lengan pria yang ia sebut sebagai anaknya.

Pria itu menghela napas pelan melalui hidungnya agar tidak terdengar. Dia menggigit pelan bibir bagian dalamnya. Perlahan ia mulai melepas gigitan itu. Tatapannya masih setia menatap pintu di hadapannya.

"Ada apa?" tanyanya tenang.

"Saya tidak ingat pernah mengajarimu untuk tidak menatap mata lawan bicara saat berbicara."

"Dan saya tidak ingat Anda pernah mengajarkan saya untuk mendengarkan ucapan lawan bicara," pria itu membalas ucapan wanita tersebut.

"Saya sudah baik terhadapmu dengan tidak berbicara formal dan bertingkah seperti seorang Ibu pada umumnya," balas wanita itu.

"Langsung kepada inti, Nyonya."

"Berhenti ke rumah pria itu," perintahnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Dia punya nama."

"Ya, namanya Mahesa?" wanita itu berusaha mengingat nama pria itu.

Wanita dengan balutan gaun tahun 1800-an itu terlihat anggun layaknya seorang Ratu. Dengan bibir yang dipolesi lipstik berwarna merah tua membuat kesan anggun dan wibawa terlihat jelas di dirinya. Rambut digulung tinggi itu membuat kesan jaman Victoria sangat terasa dari dirinya. Sayang sekali dia bukanlah seorang Ratu maupun Ibu bagi pria di hadapannya saat ini. Baginya, wanita yang sering dipuja orang ini hanyalah sebatas wanita kejam.

"Saya akan tetap ke sana."

"Apakah ini balasanmu setelah perjuanganku membesarkanmu?"

"Saya tidak ingat bahwa Anda pernah membesarkan saya?" balasnya dengan pertanyaan lain. "Dari yang saya ingat, Bi Anna yang selalu membantu saya dalam segalanya," imbuhnya.

"Semakin hari Anda semakin menjadi-jadi," ucap wanita itu pelan.

"Apakah Anda ingin masa lalu itu kembali?"

"Saya tidak peduli." Pria itu segera membuka pintu rumah yang terlihat seperti kastil dan pergi dari sana, tak peduli dengan teriakan yang sudah dilontarkan berkali-kali.

"LANGIT!"

"LANGIT BRAMANTYO!!!" teriak wanita itu.

Given Taken | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang