"Anak sialan!!"
"Tahu nya hanya menghabiskan uangku saja!!!"
"Dasar sialan!"
Umpatan tanpa henti terlontarkan dihadapan sebuah nisan, dengan nama Arga Adipradana terukir di batu nisan itu. Yang lain hanya bisa diam dan menangis dalam diam, bagaimana bisa kepala keluarga Adipradana merutuki sang anak tunggal yang sudah pergi menemui Maha Kuasa.
Sepertinya sang Ayah tidak menyesal sama sekali mengetahui anaknya sudah tewas. Bahkan disaat seperti ini dia masih bisa merutuki dan bahkan mengumpati anaknya karena dia harus mengeluarkan biaya. Tunggu, sepertinya salah karena biaya yang digunakan berasal dari tabungan milik Arga yang berisikan uangnya.
Anak bungsu dari keluarga Adipradana yaitu Carlette Adipradana. Adik perempuan kesayangan Arga, adik perempuan yang selalu ia lindungi dan bahkan ia berjanji akan menjaga dan melindungi Carlette, tapi tampaknya itu hanya janji yang tidak akan pernah bisa ditepati lagi.
Perempuan yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun tadi pagi itu kini menangis tanpa henti, dia tidak bisa menghentikan air matanya yang terus menerus turun. Hari ini adalah hari terburuk nya, malam sebelum sang kakak pergi ke taman bermain dia membuat janji dengan Carlette.
"Nanti kakak bakal kasih kamu hadiah terbesaaaaar di hari ulang tahun kamu. Kakak janji."
"Janji?" tanya Carlette sekali lagi, ia mengarahkan jari kelingking nya ke depan agar dia membuat janji dengan Arga.
"Janji!"
Pikirannya terus mengingat senyuman manis Arga yang selalu dia berikan kepada Carlette, padahal sangat terlihat jelas di matanya bahwa dia kelelahan dan tak jarang Carlette melihat luka di tubuh Arga. Entah itu luka memar atau luka sayatan terkadang luka-luka itu cukup dalam dan lama sembuh namun Arga selalu menyembunyikannya. Luka itu sangat jelas terbentuk akibat pukulan Ayah mereka.
Carlette tidak paham dengan pola pikir Arga yang terus menerus menyembunyikan sesuatu. Padahal kita harus menceritakan sesuatu untuk lega, meskipun tidak mendapat saran, tapi setidaknya kita bisa lebih lega bila menceritakan apa yang kita alami kepada orang-orang. Karena terkadang kita hanya butuh didengarkan, kita hanya butuh pendengar dari kisah kita.
"Kuperingatkan kau untuk tidak menjadi bodoh seperti kakakmu itu!" seru Ayah.
"Kakakmu itu bisanya membangkang dan menjadi anak durhaka!"
Carlette memejamkan matanya membiarkan air mata itu mengalir, tak lama dia membuka kembali matanya yang terlihat berkaca-kaca, dia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya yang ia diamkan selama ini karena permintaan Arga untuk tidak membantah orang yang lebih tua.
"Pemakaman kak Arga tidak memakai uangmu, jadi berhenti berbicara seakan dia menghabiskan uangmu di saat kenyataannya adalah kau yang menghabiskan uangnya."
"Kakakku tidak bodoh! Bila dia bodoh, dia tidak sebodoh dirimu yang sibuk berfoya-foya dan membiarkan istrimu bekerja membanting tulang. Apakah kau seorang pria?"
"Kak Arga bahkan bekerja di perusahaan yang terkenal dan mendapat posisi yang tinggi."
"Dan juga katamu ... hah," dia mendengus dengan senyum miring saat mengingat ucapan terakhir Ayahnya.
"Membangkang? Durhaka?" air matanya masih mengalir dan sesekali dia mengusapnya.
"Bagaimana bisa seorang anak durhaka memberikan seluruh gajinya untuk seseorang yang tahunya hanya menghabiskan uang, berfoya-foya, memukulnya, bahkan tidak memedulikan anaknya sendiri, di saat posisi mu di keluarga ini adalah kepala keluarga?"
"DASAR ANAK DURHAKA! BERANI NYA KAU MEMBALAS UCAPANKU!!!" teriak David -Ayah Arga dan Carlette-, dia mendorong kuat bahu Carlette. Untung saja dia dapat menyeimbangkan tubuh, hampir saja dia jatuh.
Tidak terbayang bila Carlette jatuh dari ketinggian yang entah berapa meter tingginya, sepertinya bila dia jatuh dari ketinggian ini maka dia akan tewas dengan darah yang mengalir deras. Ayahnya benar-benar tidak memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya.
"PERGI KAU DARI RUMAH! JANGAN PERNAH LAGI MENGINJAKKAN KAKIMU YANG KOTOR ITU KE RUMAHKU!!"
"Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku yang berharga ke rumahmu yang kotor itu." Carlette segera pergi dari tempat itu setelah berujar demikian, uang tabungannya cukup banyak jadi dia akan pergi dari rumah itu mencari pekerjaan untuk memberikan uang kepada Ibu.
Setidaknya dia harus memberikan uang kepada Ibu untuk tetap bertahan hidup. Dia sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari, niatnya adalah pergi bersama Arga, namun tampaknya dia hanya bisa pergi sendiri. Carlette harus kuat bila dia ingin tetap hidup di dunia ini. Entah di mana dia akan tinggal, tapi dia akan terus berusaha untuk bertahan.
***
Memasuki rumah kecil dengan langkah berat, Mahesa mengunci pintu dan membaringkan tubuhnya di sofa. Hari ini seharian tubuhnya terasa begitu berat, sangat jarang dia merasa bahwa tubuhnya begitu berat dan tertinggal dari orang lain. Rasanya hari ini dunia berjalan begitu lambat hingga waktu berdetak begitu lama. Dia pikir dia sudah berbaring selama lima menit. Namun, saat dia melihat jam ternyata jarum menit masih di berada tempat yang sama.
"Apakah jam itu mati?" dia bergumam pelan menatap jam yang jarum menitnya tidak bergerak sama sekali.
"Tapi jarum detiknya masih bergerak."
"Padahal rasanya aku berbaring sangat lama di sini."
Mahesa sama sekali tidak merasakan apa pun, tidak sedih, tidak bahagia, tidak marah, tidak kecewa. Tidak ada apa-apa, tapi hatinya terasa tawar, dan hambar. Sekarang dia paham dari arti hidup yang berwarna abu-abu seperti monochrome. Rasanya begitu malas menjalani hidup, entahlah sulit untuk mendeskripsikannya. Tiba-tiba dia penasaran dengan kabar Langit, dia bahkan tidak tahu apakah pria itu akan memberinya sebuah pesan atau tidak.
"Oh iya, Daffin .... "
"Bagaimana kabarnya ya?"
"Aku tidak melihatnya di pemakaman juga."
"Ke mana perginya dia."
Mahesa sibuk berbicara sendiri, dia terlalu malas untuk berdiri dan membasuh dirinya, bahkan untuk sekedar pergi mengisi perutnya dia malas. Seperti inikah rasanya menjadi manusia tanpa tujuan? Bahkan saat dia masih remaja, dia tidak pernah mengalami ini. Menjadi dewasa tidak menyenangkan, itu adalah kesimpulannya.
Tiba-tiba, ponselnya mendapatkan sebuah pesan. Dia menggunakan ponsel lamanya yang berisikan nomor anggota keluarganya, sebenarnya tidak penting juga menggunakan ponsel itu karena isi pesannya tidak berguna.
Geraldino [15:32]
Ayah kritis. Pulang.Me [15:34]
Masih ingat saya ternyata dia.
Geraldino [15:33]
Kalau Anda mau menjadi anak durhaka lagi dengan tidak pulang, silakan.Saya lupa bahwa sekali anak durhaka, selamanya anak durhaka.
Mahesa tertawa nyaring membaca pesan dari Geraldino, kalau dia anak durhaka, lantas apakah pria itu kakak durhaka? Hahaha, terkadang dunia begitu lucu sampai membuat pria ini tertawa kembali di saat bahkan tidak ada yang lucu sama sekali.
Me [15:37]
Tenang saja, saya akan datang ke pemakaman dia.
To Be Continued
Revisi: 22 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Given Taken | END
Mystery / ThrillerGiven And Taken. Bukan Given or Taken, karena itu adalah hal yang mutlak. Ini bukanlah sebuah pilihan yang bisa dipilih sesuka hati, ini sebuah keharusan. _____ Itu bukan mitos, itu adalah kenyataaan. Namun bagi rakyat Magellan, ini adalah sebuah mi...