[24] Arga Problem

5 2 0
                                    

Pada siang hari, Mahesa memutuskan untuk bertemu dengan adik Arga setelah berusaha menemukan nomornya dari telepon milik Arga. Tindakan yang tidak baik, namun untuk menuntaskan rasa penasarannya, dia harus melakukan ini. Saat ini dia sedang duduk di kafe yang tidak pernah ia datangi karena saat ini dia sedang berada di perbatasan kota Andromeda, yang mana merupakan tempat dengan penduduk paling sedikit. Dari kejauhan, dia bisa melihat seorang perempuan berumur delapan belas tahun mungkin, bila perkiraannya tidak salah, karena bila dilihat-lihat wajah perempuan itu masih terlihat muda.

Dia bahkan tidak menyangka bahwa Arga ternyata memiliki adik. Arga benar-benar tertutup mengenai keluarganya dan dia baru menyadarinya sekarang. Telat memang, setidaknya dia bisa menggali lebih dalam melalui adiknya.

"Salam, Tuan. Nama saya Carlette."

"Salam, Nona. Nama saya Mahesa. Tidak perlu berbicara formal dengan saya," ujarnya sambil kembali duduk setelah ia bangkit berdiri untuk menyapa.

"Saya tidak terbiasa bila harus berbicara informal denganmu, Tuan. Bagaimanapun juga Anda lebih tua dari saya." Carlette sudah mengambil duduk dihadapan Mahesa yang menurutnya terlihat berwibawa dengan jas hitam yang terpasang di tubuh pria itu.

"Baiklah kalau begitu. Apakah Anda ingin memesan sesuatu?" tawarnya.

"Tidak perlu, Tuan."

Mahesa mengangguk paham, lalu ia berkata, "Apakah bisa saya memulai inti pembicaraan hari ini?" dia meminta izin kepada Carlette untuk memulai pembicaraan yang akan ia bahas hari ini.

"Bisa, Tuan. Tanyakan saja apa yang Anda ingin ketahui terkait kakakku."

"Mengenai Arga ... maaf bila saya membahas ini, tapi bila Anda tidak ingin membahas segalanya tidak masalah, karena menurut saya ini termasuk topik yang sensitif."

Carlette mengangguk yakin sebagai tanda bahwa ia tidak masalah bila harus membahas segalanya. "Tekadku sudah bulat, Tuan. Maka dari itu saya menemui Anda."

"Sebenarnya ... apa permasalahan yang kalian hadapi?"

***

POV Carlette

Keluarga Adipradana. Setiap keluarga di Andromeda dan Magellan memiliki nama keluarganya tersendiri dan tidak bisa sembarang digunakan. Keluarga kecil yang kondisi perekonomian nya semakin memburuk setiap harinya. Sebenarnya, Ayah kami saat ini bukanlah Ayah kami yang sesungguhnya. Ayah kami yang baik itu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Aku heran kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan. Rasanya ... tidak adil bagiku.

Tak lama setelah Ayahku tewas, Ibuku memutuskan untuk menikah lagi. Aku dan kakak tidak masalah selagi pria itu baik dengan Ibu dan kami. Selagi pria itu sanggup untuk menafkahi kami, maka kami tidak masalah. Kami hanya tidak ingin hidup pria itu yang awalnya baik-baik saja menjadi hancur saat menikahi Ibuku.

Dan tanpa disangka, dia ternyata hanya mengincar warisan dari Ayahku yang diberikan kepada Ibu. Benar-benar pria brengsek. Dan itu tidak berhenti di sana, dia bahkan tak segan-segan untuk memukul Ibu bila dia tidak mendapat uang. Kakak juga, serta ... aku. Tetapi kakak selalu ada untukku ketika pria itu ingin memukulku. Tak jarang aku menemui luka di tubuh kakak. Dia selalu bilang tidak apa-apa padahal aku tahu bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Aroma alkohol, bisa dibilang hampir setiap saat aku mencium aroma itu.

Mahesa meringis saat mendengar ceritaku, "maaf harusnya aku bisa lebih peka dengan Arga. Aku benar-benar tidak menyadari luka-luka di dirinya."

Aku hanya tersenyum, dan kembali berkata, "tidak apa, Tuan. Harusnya aku yang bertindak, tapi waktu itu aku terlalu pengecut untuk melawan dia."

Aku tahu bahwa Tuan ada di sana saat pria itu marah dan mengumpat tepat di depan nisan kak Arga. Aku melihat bayanganmu dan itu sama dengan bayanganmu saat ini.

"Memorimu luar biasa sekali, bahkan detail bayangan yang tidak terlalu diperhatikan, kau bisa ingat," Mahesa terlihat kagum saat aku berkata seperti itu. Dia terlihat seperti pria yang asyik untuk diajak berteman, batinku.

Kalau boleh jujur, aku takut ... aku takut bila kejiwaan kakak terganggu dengan beban yang ia hadapi sebanyak itu. Beban yang harus ia pikul begitu banyak, bahkan untuk berkencan dengan perempuan sampai ia anggap membuang waktu dan baginya kebahagiaanku lebih penting. Padahal aku menganggap kebahagiaan kak Arga lebih penting dari segalanya.

Mahesa, pria itu terlihat tersenyum. Tapi itu bukan senyum manis, senyum miring, ataupun senyum yang mengerikan. Itu terlihat seperti senyum miris, tapi aku tidak tahu kenapa ia tersenyum seperti itu.

Author POV

"Ya ... aku rasa itu saja yang bisa kujelaskan tentang masalah keluarga kami. Aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi," ujar Carlette. Senyuman kembali terbit di wajah Mahesa, kali ini senyumannya terlihat lembut dan bahagia.

"Terima kasih karena sudah mau menceritakan tentang masalah Arga kepadaku."

"Tidak masalah, Tuan."

"Aku izin pergi terlebih dahulu, Tuan. Aku harus bekerja," pamit Carlette. Dia melihat jam dinding yang terpasang di dinding putih kafe tersebut menunjukkan pukul sebelas siang dan ia harus segera pergi ke tempat kerjanya.

"Ah, baiklah. Terima kasih sudah meluangkan waktumu."

Carlette sedikit membungkuk dengan senyuman dan Mahesa bangkit untuk membalas membungkuk kepada Carlette. Dia kembali duduk saat melihat Carlette benar-benar pergi dari kafe tersebut. Pria itu menatap minuman hot latte di hadapannya yang masih memenuhi gelas kecil. Tatapannya terlihat kosong, pikirannya berkelana dan menjadi sedikit iri dengan hubungan Arga serta Carlette.

"Pasti bahagia rasanya bila bisa berhubungan baik dengan saudara," dia membatin saat menyadari betapa besarnya rasa sayang Arga kepada Carlette, begitu pula sebaliknya. Dia iri dengan itu, dia ingin merasakan kasih sayang dan perhatian dari saudara kandung sendiri. Kenapa itu terlihat seperti hal yang mustahil untuk digapai?

"Aku hanya ingin menjadi bahagia sedikit lagi. Sedikit saja. Tidak bisakah?" gumamnya dengan suara kecil.
















Geraldino [12:25]
Ayah meninggal.




 Me [12:28]
Aku akan datang besok saat tidak ada orang. Pembahasan warisan aku tidak ikut. Kau ambil  saja sebanyak yang kau mau.

Satu lagi, jangan membuat berita palsu dengan memberitahu orang-orang bahwa aku ingin mengambil warisannya.











Mahesa mematikan ponselnya, teringat dengan kejadian saat pria tersebut membuat berita palsu mengenai dirinya dan berkata bahwa dia hanya menginginkan harta keluarga mereka. Dan dengan bodohnya, orang-orang percaya dengan perkataan omong kosong itu. Padahal sangat jelas bahwa pria itu yang gila akan kekayaan.












To Be Continued

Publish: 16 Juli 2021

Revisi: 22 September 2021

Given Taken | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang