"PERCAYALAH DENGANKU!!" suara teriakan terdengar bergema di ruang tamu rumah Sagara. Mereka berkumpul kembali setelah Mahesa meminta mereka untuk bertemu.
"Sa ...." Arga mendongak menatap manik mata Mahesa yang terlihat dipenuhi emosi. Merasa terpanggil, Mahesa membalas tatapan Arga.
"Kau dipenuhi emosi saat ini. Lebih baik kau redakan emosimu terlebih dahulu," pintanya.
"Tidak bisa!"
"Mahesa!" bentakan dari Arga membuat atmosfer disini semakin mencekam dan tidak bersahabat.
"Apa?!"
"Kalau hal itu benar terjadi, apa yang akan kau lakukan, hah?" tanya Mahesa.
Keduanya berdiri sedari tadi dan tak hentinya bertatapan. Bukan tatapan yang bersahabat, melainkan tatapan mengintimidasi yang saling dilontarkan kepada satu sama lain. Langit, Sagara, dan Daffin hanya diam. Tidak ada yang berani berbicara. Dua pria itu berada dibawah kuasa ego mereka. Mereka harus mencari kata-kata dan menyusunnya dengan baik. Kalau tidak, pertikaian ini akan terus berlanjut tanpa ada akhir.
"Apa kau bisa menjamin kalau hal itu akan terjadi?" Bukannya menjawab, Arga justru membalas pertanyaan Mahesa dengan sebuah pertanyaan.
Mahesa mencengkeram erat kerah pakaian Arga. Langit sontak menahan Mahesa dan memaksanya mundur. Daffin dan Sagara membantu Arga. Mereka menuntun kedua pria tersebut untuk duduk dan menenangkan keduanya.
"Kalau kalian berada dibawah kuasa ego kalian masing-masing, hal ini tidak akan berakhir."
"Redakan emosi kalian, bicarakan dengan kepala dingin," tutur Langit.
"Ta-"
"Tidak ada tapi-tapi. Aku tidak menerima penolakan. Redakan emosi kalian. Kalau kalian masih emosi, jangan memulai pembicaraan!" Langit menaikkan intonasinya sedikit, tapi itu cukup untuk membuat keduanya mulai diam dan menaati ucapannya.
"Bila kalian terus bertengkar, itu hanya akan memperkeruh suasana. Yang kita butuhkan adalah keputusan akhir. Dan itu ada di tangan Sagara. Bukan kalian yang menentukan keputusan akhirnya," jelas Langit kepada Arga dan Mahesa.
"Paham?" Mereka berdua mengangguk paham.
Tidak ada suara di ruang tamu Sagara, tidak seperti tadi yang mana suara bentakan dan teriakan terdengar jelas memenuhi indra pendengaran mereka. Sagara menunduk, Mahesa memberitahu mereka tentang pesan tersebut dan memintanya untuk tidak pergi ke Andromeda. Ia semakin takut, dia tidak pernah suka mendengar bentakan dan teriakan.
Pria itu mulai panik, rasa cemas melingkupi dirinya, "aku mohon jangan sekarang," batinnya. Namun, tampaknya doa pria itu tidak terkabulkan. Napasnya mulai terasa sesak, dadanya terasa begitu nyeri. Dia bisa merasakan detak jantungnya begitu cepat seiring dengan keringat yang mulai mengucuri wajahnya serta telapak tangannya. Pusing mulai melandanya, diiringi rasa mual yang membuat rasa sakitnya berkali-kali lipat.
Daffin yang memang sedari tadi berada di sampingnya menyadari perubahan yang terjadi pada Sagara, ia berujar, "Aga, apa kau tidak apa-apa?"
Kesunyian yang sedari tadi mengisi ruang tamu pria tersebut, membuat suara Daffin terdengar jelas dengan yang lain. Atensi mereka kini berada pada Sagara. "Sagara, ada apa? Kenapa kau berkeringat banyak sekali." Mahesa segera mendekatinya, ia semakin panik saat melihat pandangan Sagara kosong.
"Sagara, lihat aku." Mahesa menangkup wajah Sagara menatap mata pria tersebut, dan mengacungkan jari telunjuknya seperti membuat angka satu.
"Angka berapa ini?"
Dengan nafasnya yang terengah-engah dan pandangan yang mulai meredup, ia menjawab "satu," setelah dia menjawab, tubuhnya melemah dan limbung hingga akhirnya jatuh ke Mahesa yang berjongkok di hadapannya. Mahesa dengan sigap menahan tubuhnya dan menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri agar tidak jatuh.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Daffin panik.
"Tenang, Daf, panik tidak akan menyelesaikan masalah," ujar Langit. Ia segera membantu Mahesa memapah tubuh Sagara berbaring di sofa. Langit meminta Mahesa untuk mengambil kotak pertolongan pertama.
Langit lumayan paham dasar-dasar ilmu kedokteran, memakai senter kecil, ia membuka satu per satu mata Sagara. Memastikan ia baik-baik saja. "Bagaimana?" tanya Arga. Dia sedang menenangkan Daffin, pria itu panik sekali saat melihat Sagara pingsan.
"Sepertinya dia syok. Tetapi aku tidak bisa memastikannya, hanya pendapatku saja," ungkap Langit.
"Syok kenapa .... ?" tanya Arga.
"Coba kalian ingat-ingat sedari tadi apa yang terjadi hingga memicu tubuhnya untuk syok. Kemungkinan besar trauma."
"Sedari tadi kita ... bertengkar? Berteriak, bentakan," ujar Mahesa ragu.
"Antara dua hal itu sepertinya. Mungkin dia ada trauma yang berkaitan dengan pertengkaran dan teriakan."
"Kenapa bisa trauma? Setahu aku dia baik-baik saja selama ini," ucap Arga.
"Itu yang kita ketahui, kita tidak tahu sepenuhnya kehidupan dia. Bahkan kita tidak tahu bagaimana masa lalunya, bukan?" ucapan Langit membuat mereka terdiam.
Memang benar, mereka tidak mengenal satu sama lain meskipun mereka dekat sekali. Kesunyian kembali memenuhi ruang tamu tersebut. Ruangan kosong tanpa adanya perabotan. Terlihat bagaikan rumah baru yang belum memiliki Tuan-nya. Padahal kenyataannya memang seperti itu. Rumah itu hanya dihuni Sagara seorang diri.
Tidak ada tuan lain selain Sagara. Terkadang beberapa rumah yang memiliki tuan, tidak terasa hangat. Dan rumah tanpa tuan terasa dingin, tidak ada kehangatan yang dicari-cari orang-orang. Kehangatan kasih sayang, disambut setiap kali pulang. Sepertinya hanyalah angan-angan bagi rumah tanpa tuan tersebut.
Sagara menggeliat perlahan, ia mulai sadar dari pingsannya.
"Aga, akhirnya kau bangun." Langit menghela napas lega, ia membantu Sagara untuk duduk. Dia mengarahkan telunjuknya ke bibirnya, agar mereka tetap diam dan tidak memberi Sagara banyak pertanyaan.
"Apa kau merasakan sakit, beritahu aku." Pria itu menggeleng pelan, tubuhnya terasa begitu lemah, bahkan untuk berdiri, ia sudah tidak punya tenaga lagi.
Dia memijat pelan keningnya, pria itu berujar, "aku akan tetap ke Andromeda," ia tersenyum tipis. Bahkan ia masih berusaha tersenyum disaat tubuhnya tidak dalam kondisi yang baik.
"Maaf ...." lirihnya, ia menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap Mahesa, ia tahu Mahesa ingin mencegahnya pergi karena takut pesan itu menjadi kenyataan. Apa boleh buat tekadnya sudah bulat. Meskipun ia kembali ke Andromeda, dia akan sebisa mungkin tidak kembali ke rumah tersebut.
Mahesa tersenyum kepada Sagara, "tidak apa-apa, itu keputusanmu."
"Sudah sore, sebentar lagi malam akan tiba. Lebih baik kau istirahat saja, Sagara. Besok kau akan berangkat, jadi lebih baik kau mengistirahatkan tubuhmu," sahut Langit.
"Iya," Sagara mengangguk, senyumnya kembali terlihat di wajahnya.
"Hati-hati di jalan ya kalian," tutur Sagara.
"Pasti!" seru Mahesa, terlihat jelas senyum lebar di wajahnya.
"Sampai jumpa." Mereka saling melambaikan tangan sebagai pamit.
Sagara menatap punggung sahabatnya yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya. Pusing masih melandanya sedari tadi, tapi ia masih bisa tahan. Rasanya sulit untuk terus berbohong kepada semua orang. Tapi ini adalah pilihannya. Bagaimanapun, semua manusia hidup dengan topengnya bukan?
Topeng itu dipakai karena kita tidak ingin menunjukkan diri kita yang asli kepada orang lain. Karena kita ingin menunjukkan sisi baru atau lain dari diri kita. Untungnya topeng itu bisa kita lepas saat kita hanya sendirian. Namun, ada juga orang yang tidak bisa melepas topengnya meskipun dia sendirian, tanpa ada siapa pun. Dengan beberapa alasan. Salah satunya karena, dia hanya ingin menjadi sosok yang dibuatnya.
To Be Continued
Publish: 21 Juni 2021
Revisi: 15 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Given Taken | END
Mystery / ThrillerGiven And Taken. Bukan Given or Taken, karena itu adalah hal yang mutlak. Ini bukanlah sebuah pilihan yang bisa dipilih sesuka hati, ini sebuah keharusan. _____ Itu bukan mitos, itu adalah kenyataaan. Namun bagi rakyat Magellan, ini adalah sebuah mi...