[22] White Lily

8 2 0
                                    

Lagi-lagi mereka kehilangan sosok yang berharga. Yang awalnya lima kini hanya tersisa tiga, dan awal dari segalanya adalah mitos tersebut. Lantas, apakah mitos itu sungguh benar nyata? Ataukah itu hanya sebuah kebetulan belaka?

Mahesa berada di sebuah rumah kecil, bukan milik Langit ataupun miliknya. Rumah itu tempat tinggalnya sementara karena dia tahu bahwa keluarga Langit pasti masih mencarinya. Sampai sekarang dia tidak mendapat kabar apapun tentang Langit ataupun dari pria itu sendiri.

Dia melihat pantulan dirinya di kaca yang sepanjang tubuhnya itu, lagi-lagi ia harus memakai pakaian hitam untuk datang kembali ke rumah duka itu.

"Ayo Mahesa. Kau pasti bisa melewati semua ini."

***

"Kira-kira bunga apa yang cocok untuk Arga ya .... "  Mahesa membatin sembari berjalan di dalam toko bunga itu.

"Permisi, apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang perempuan yang keluar dari area kasir.

"Bisakah Anda memberikan saya rekomendasi bunga?" tanya Mahesa sopan.

"Bunga apa yang Anda inginkan, Tuan?"

"Bunga yang melambangkan kepergian."

Perempuan itu berjalan sembari menjelaskan kepada Mahesa, "bunga lily putih melambangkan kesucian, persahabatan, dan kesetiaan. Bunga lily putih juga terkadang digunakan untuk mengungkapkan perasaan duka terhadap seseorang."

"Pas sekali .... " batin Mahesa.

"Kalau begitu boleh merangkai beberapa tangkai bunga ini menjadi sebuah buket? Tidak perlu menggunakan kertas tissue paper sebagai wadah bunganya. Apakah itu mungkin?" Mahesa bertanya sembari menyentuh lembut dan pelan bunga itu, dia sangat suka menyentuh kelopak bunga karena terasa lembut.

"Bisa, Tuan." Perempuan itu kemudian mengambil beberapa tangkai bunga lily putih dan merangkainya di sebuah meja. Mahesa mengikutinya dan bertanya apakah boleh ia duduk di sana dan perempuan itu mengizinkannya untuk duduk.

"Apakah mungkin Anda pemiliknya?" Mahesa akhirnya bertanya setelah menimbang-nimbang sejenak karena sedari tadi dia tidak melihat pegawai lain.

"Anda benar, Tuan."

"Anda menjalankan toko ini seorang diri? Maaf bila saya bertanya terlalu banyak."

"Tidak apa-apa, Tuan. Saya menjalankan toko ini seorang diri."

"Tampaknya ini yang kedua kalinya Tuan datang kesini, bukan?" tanya perempuan itu, dia baru mengingat pernah melihat wajah Mahesa yang datang ke tokonya.

"Benar .... "

Perempuan itu tersenyum, lalu berucap, "siapa pun yang menjadi pasangan Anda pasti bahagia."

"Haha, benarkah?"

Terlihat perempuan tersebut mengangguk, "Anda pasti baik dengan siapa pun, saya bisa melihatnya."

Mahesa hanya tersenyum mendengar penuturan perempuan itu tak lupa mengucapkan terima kasih atas pujiannya.

"Anda pasti baik dengan siapa pun ... tapi pada kenyataannya aku telah membiarkan dua nyawa melayang," dia berucap dalam hati.

"Apakah orang baik itu benar-benar ada ... ?" tanya Mahesa pelan.

"Tentu saja, Tuan. Orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti."

"Pada dasarnya kita diciptakan menjadi sosok yang baik, hanya saja dengan faktor lingkungan atau hal buruk membuat kita berubah. Kekerasan kepada anak dalam mendidik juga sebenarnya perlu kita jelaskan alasannya, karena dari sudut pandang anak dan orang tua berbeda."

"Berbeda bagaimana?" Mahesa mulai tertarik dengan alur pembicaraan.

"Dari sudut orang tua mungkin saja mereka ingin sang anak tumbuh menjadi orang baik maka dari itu mereka memakai kekerasan. Dan dari sudut pandang anak, kita menganggap bahwa orang tua kita sebenarnya tidak sayang dengan kita hanya karena kekerasan."

"Setiap orang mempunyai cara yang berbeda untuk tumbuh dewasa, ada yang tidak memerlukan kekerasan, ada yang perlu dikeraskan barulah mereka sadar bahwa dunia itu tidak sebaik yang mereka bayangkan."

"Bila mereka mengalami kekerasan, hingga sang anak melukai dirinya sendiri dan orang tuanya menuntut dia menjadi sempurna tanpa peduli dengannya, hanya karena status terpandang mereka ... apa yang harus dilakukan?" tanya Mahesa. Dia teringat dengan Langit, tanpa pria itu ceritakan tentang hidupnya pun, Mahesa sudah tahu bahwa Langit mengalami kekerasan dan dia bisa melihat luka sayatan di tangan pria tersebut.

"Satu-satunya jalan hanyalah pergi. Pergi dari keluarga itu, karena bagaimanapun dia menceritakan kesulitannya kepada keluarganya, dia tidak akan didengar."

"Itu adalah jalan yang berisiko tinggi, tapi yang lebih terpenting adalah dukungan dari orang terdekatnya. Bila keluarganya tidak mendukungnya, bukankah kita sebagai orang terdekatnya mendukungnya? Dukungan yang terlihat sederhana pun sangat berpengaruh bagi mereka yang membutuhkannya."

"Jadilah tempat sandaran mereka. Biarkan mereka mengeluarkan segala emosinya, tidak perlu memberikan saran yang hebat. Cukup menjadi orang yang selalu ada di sampingnya apa pun yang terjadi."

Pembicaraan itu sangat membantu Mahesa dan mengubah pola pikirnya. Dia hanya perlu berada di samping Langit. Karena yang Langit butuhkan hanyalah dukungan dan tempat sandaran. Langit haus akan rasa kasih sayang, dan perhatian. Dan dari kecil dia tidak pernah mendapatkan itu.

***

Pria dengan setelan jas itu duduk di rerumputan dengan kedua lutut ditekuk dan dia menyanggakan tangannya di atas lutut. Setibanya dia di sini, dia hanya diam dengan senyuman dan mata fokus menatap sebuah nisan berwarna abu-abu. Terdapat rangkaian bunga lily putih yang ia beli tadi.

"Maaf Arga ... padahal aku tahu bahwa kau akan menjadi korban kedua."

"Aku bodoh ya, sudah membiarkan dua nyawa melayang begitu saja. Padahal aku diberikan tugas untuk menjaga kalian."

"Aku menyembunyikan rahasia besar, Arga."

"Apakah kau akan marah bila tahu aku menyembunyikan rahasia besar? Haha, bodoh sekali diriku. Sudah jelas pasti kau akan marah."

"Kau akan marah 'kan?"

"Datanglah ke mimpiku dan marahi aku. Aku lebih suka kau marah padaku daripada kau hanya diam seperti ini, Ga .... "

Mahesa kembali bercerita saat-saat mereka masih bersama lengkap berlima serta tentang Langit yang tidak baik-baik saja. Dia menghabiskan waktunya di sana cukup lama dan itu membuatnya lega karena dia bisa menceritakan apa yang dialaminya kepada seseorang. Sebelum pulang, dia pamit kepada Arga dan berjalan menuruni tangga yang lumayan banyak, karena nisan milik Arga lumayan jauh di atas. Saat dia berjalan turun, dia bisa mendengar keributan di bawah sana. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi, dia otomatis menyelinap untuk mendengar keributan yang sedang terjadi.

Namun, betapa terkejut dirinya saat mendengar keributan tersebut dibuat oleh keluarga Arga, lebih tepatnya oleh si kepala keluarga. Dan lagi-lagi hatinya sakit saat mengetahui rahasia lainnya yang disembunyikan mereka. Kini, mereka benar-benar terasa seperti orang asing bagi Mahesa. Apakah dirinya tidak berguna hingga teman-temannya harus menyembunyikan hal besar?









To Be Continued

Publish: 9 Juli 2021

Revisi: 22 September 2021

Given Taken | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang