Hangat Pelukan

1.8K 160 8
                                    

Saat ini Andin dan mama Sarah sedang mengemas barang bersiap untuk pulang. Sementara Al tengah menyuapi Reyna. Ia belum menceritakan apa yang dibicarakan dokter tadi saat Andin bertanya ia hanya menjawab semua baik-baik saja. Walau Andin tak sepenuhnya percaya dengan penjelasan sang suami namun ia hanya diam tak ingin mengungkitnya disini, apalagi didepan Reyna.

Al telah selesai menyuapi Reyna.
"Alhamdulillah makannya habis, pinter anak papa," ucap Al sambil mengusap kepala Reyna.
"Pa ayo pulang," rajuk Reyna.
"Iya sayang, kita pulang, nungguin mama beres-beres dulu, tuh belum selesai," Reyna hanya cemberut.
"Permisi, wah Reyna mau pulang ya? dokter periksa dulu ya?" Kata dokter yang baru saja memasuki ruangan.
"Aku mau pulang," rengek Reyna dengan air mata yang mulai membanjiri pelupuk matanya.
"Iya, Reyna sudah boleh pulang kok tapi periksa sebentar ya," bujuk dokter.
"Habis ini pulang ya sayang," bujuk Andin lembut.
"Alhamdulillah sudah membaik pak, bu, jangan lupa obatnya di minum ya anak baik, cepat sembuh ya cantik" kata dokter.
"Iya dok, terimakasih,"sahut Andin mewakili Reyna.
"Ma pulang," kata Reyna tangisnya sudah pecah.
"Iya sayang, ayo bangun dong,"
"Anak cantik gak boleh nangis, kalau gitu saya permisi dulu,"
"Dah yuk pulang," kata Andin
"Mama, gendong," rajuk putri kesayangannya.
"Gendong papa, mama gak kuat sayang," sahut Andin.
Reyna hanya cemberut.
"Gendong Oma mau?" Tawar sang Oma.
Al baru saja keluar dari kamar mandi. 
"Udah semua?"
"Papa," Rengek Reyna sambil merentangkan kedua tangannya.
"Jalan sendiri dong, yuk papa gandeng," canda Al.
"Papa," rajuk Reyna sambil menangis.
"Hahaha, bercanda sayang," sahut Al.

Mereka tengah di perjalanan pulang. Tapi ada perbincangan didalamnya semua nampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Andin dapat merasakan ada sesuatu yang tengah Al pikirkan, sejak bertemu dengan dokter tadi suaminya itu belum menceritakan apa yang mereka bicarakan. Hatinya pun diliputi rasa cemas dan khawatir perihal kondisi anak semata wayangnya itu.

Andin menoleh ke belakang Reyna sedang bersender di dada sang Oma. Ia juga merasakan pergerakan makhluk mungil di rahimnya.
***

Tak terasa mereka telah sampai di rumah.
"Assalamualaikum," salam mereka
"Waalaikumsalam, eh cucu Oma udah pulang," sapa mama Rosa.
"Iya Oma," sahut Reyna yang kembali ceria.
"Ma, aku ke kamar dulu ya,"  pamit Andin.
"Iya Ndin, istirahat dulu, kamu pasti capek," tanggap mama Rosa.
"Sayang, mama ke kamar dulu ya, kamu sama oma,"
"Iya ma,"
Andin dan Al menuju kamar mereka. Andin sangat mudah membaca gelagat Al yang sedang menyembunyikan sesuatu. Ia sangat hafal gerak-gerik juga kegelisahan suaminya itu.
Akhirnya ia tak tahan untuk meminta penjelasan kepada Al.
"Mas apa yang dokter katakan tadi?"
"Ndin kamu harus kuat ya?"
"Kenapa? Reyna pasti sembuh kan?"
"Iya, dia pasti sembuh, anak kita kuat Ndin seperti mamanya," ucap Al sambil memeluk erat tubuh sang istri.
"Ndin, Reyna harus menjalani serangkaian pengobatan, dan kemo untuk menghambat pertumbuhan sel kanker" sambung Al.
Tubuh Andin bergetar hebat ia tak sanggup menyaksikan penderitaan malaikat kecilnya. Sangat berharap bahwa ini adalah mimpi buruknya.
"Apa gak ada cara lain mas? Aku pernah mendengar kalo kemo itu menyakitkan, dan aku gak sanggup melihat Reyna kesakitan mas," ujar Andin dengan air mata membasahi pipinya.
"Aku tahu Ndin tapi untuk saat ini hanya itu yang bisa dilakukan, ada lagi cara yaitu transplantasi sumsum tulang belakang tapi itu juga hanya bisa dilakukan oleh saudara kandung," jelas Al.
Mendengar penjelasan sang suami kembali meruntuhkan tulang-tulangnya. Hancur sudah dunianya.
"Tapi apa kita tidak bisa melakukannya mas? Aku, aku kan ibunya," ucap Andin terbata-bata.
"Aku belum tanya hal itu tapi menurut dokter jika dengan saudara kandung peluangnya akan lebih besar, tapi coba besok kita tanya ya," balas Al berusaha menenangkan istri tercintanya.
"Kenapa bisa begini sih mas apa salah kita? Apa salah ku?" Andin masih belum bisa menerima keadaan.
"Enggak, ini bukan salah kamu Ndin, bukan salah kamu ya, jangan nyalahin diri kamu,, ini semua takdir kita harus bisa menerima dan pasti juga bisa melewatinya," kata Al sambil memeluk erat Andin.
"Kamu benar mas gak ada yang salah disini, ini semua salah penulis, yang bikin cerita seenaknya saja gak mikirin kita," sahut Andin.
"Kamu juga jangan terlalu stress, inget ada dede disini," ucap Al sambil mengusap perut Andin.
"Iya mas aku akan jaga dia baik-baik"
"Aku ke kamar Reyna dulu ya,"
"Iya tapi dihapus dulu air matanya jangan sampai Reyna liat, cuci muka dulu sana," peringat Al. Yang langsung dilakukan Andin.

"Sayang kamu harus istirahat ya, biar cepat sembuh" ujar mama Sarah sambil mengusap kepala Reyna.
"Aku gak ngantuk Oma, aku juga udah sembuh kok, aku mau main,"
"Sayang mainnya nanti lagi ya,"
Andin memasuki kamar Reyna.
"Anak mama sayang, kok gak bobo sih,"
"Mama, masa aku disuruh bobo terus sih, aku gak ngantuk ma,"
"Gak ngantuk? Tapi Reyna harus istirahat, gak boleh capek, sini mama temenin," Reyna hanya cemberut dan menenggelamkan wajahnya di dada sang mama.
Lima belas menit kemudian terlihat nafas Reyna sudah mulai teratur. Andin memandangi wajah sang anak diselimuti kekhawatiran tanpa terasa kristal bening meleleh begitu saja. Bu Sarah hanya bisa terdiam membisu melihat pemandangan itu. Andin pun mengecup kening Reyna dengan begitu dalam. Buah hatinya kini harus melawan waktu.

Indah Pada WaktunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang