Chapter 24

1.3K 27 0
                                    

Hari terakhir anak-anak 3V harus dijemput oleh orangtuanya, Cita melepas teman-temannya yang dijemput dengan RV oleh supir Aziz dengan mata dan hidung yang merah.

CP berbisik, "Sshh, Cit! Elo berenti nangis dong, nanti elo dicurigain gay gara-gara ngelepas temen aja ampe nangis kayak gini. Tunggu aja beberapa hari, ya? Elo tanya ama bu Besar boleh gak ngabisin liburan di rumah gue? Begitu lo telepon kita pasti jemput elo lagi deh, janji!" Ia tersenyum mencoba menguatkan Cita yang terlihat tak rela melepas drum kecil tertutup kulit rusa buatan tangan Aziz.

Yayank mendekat mengucek rambut Cita, dan Aziz dengan senyum besarnya menggoda, "Kalo kita lagi ngegodain cewek-cewek deket rumahnya CP kita pasti inget lo, Vit. Hehehe... udahlah, gue janji kalo bu Besar nggak ngebolehin lo pergi, kita pasti culik juga. Oke??" Cita tersenyum mendengar janji Aziz.

"Bener ya, bener ya?" tanyanya dengan mata penuh mengharap.

Aziz yang tadinya hanya bercanda, berubah menjadi serius dan menganggukkan kepalanya keras-keras.

Di asrama 3V hanya tinggal Cita dan Kato yang terakhir, karena mereka menunggu pak Besar menyelesaikan urusan administrasinya sebelum membawa kedua anak itu pulang ke rumahnya.

Kato mendapati Cita duduk menjentik-jentikkan gitar di ruangan TV.

"Bisa main gitar lo sekarang, Cit?"

"Aziz suka ngajarin," dongak Cita tak kaget dengan keberadaan Kato yang tiba-tiba.

"Siapa yang bakal nginep di rumah nanti, To?" tanya Cita yang tahu bahwa pasti ada teman-teman Kato yang akan meramaikan liburannya.

"Harlan sama Dani," jawab Kato.

Cita menatap Kato dengan pandangan antagonistik. Dia tahu bahwa dia gak punya hak menentukan siapa yang menginap di rumah Kato, tapi tetep aja. Harlan? Dani? Dua orang yg sekarang ada di list "next victim buat digebukin" buat Cita. Selama liburan ini dia udah niat mau belajar street-fight sama Yayank. Nuansa balas dendam di hati Cita makin terbakar.

"Kalo mereka nginep di rumah kan gue jadi bisa pelan-pelan cari tahu apa hubungan mereka dengan orang-orang yang lo liat di bar XYZ," lanjut Kato lagi. Gak percuma dia udah lama kenal Cita, kadang pandangan mata cukup membuat dia mengerti kalimat yang gak terucap.

"Gue mau minta ijin nginep di rumah CP aja, ya?"

"Loh, kenapa?"

"Gue gak tahan lama-lama jauh ama mereka. Sepi."

"Kan ada gue?"

Cita hanya tersenyum tipis tak menjawab.

"Tapi gue selalu mampu tetap ngebuat lo ngerasa kesepian.." jawab Kato yang lebih seperti ditujukan untuk dirinya sendiri.

Cita gak menjawab komentar Kato. "Bapak masih lama gak, To?"

"Bentar lagi katanya," dan Kato tersenyum tetapi matanya menatap Cita sedih.

"Udah siap semua?" suara bariton pak Besar mengagetkan Cita. Pak Besar, sesuai dengan namanya, adalah sosok yang tinggi dan agak gemuk. Rambutnya sudah putih semua, tetapi mukanya terlihat muda. Garis tampannya ketika muda masih terlihat jelas dibalik kacamata yang malah membuatnya terlihat jenaka. Kalau ia berbicara, selalu seperti ada lentingan cahaya iseng dibalik matanya.

Walaupun Cita sudah mengenal pak Besar dari ia masih sangat kecil, ia selalu merasa terintimidasi oleh sosoknya. Yang ia tak tahu, pak Besar pun merasa hal yang sama kepada Cita. Mungkin karena Cita begitu mirip dengan ibunya, Crystal. Mengingat nama itu, rasa kehilangan terbersit di hati pak Besar. Pak Besar telah mengenal Crystal semenjak Crystal lahir, yang empat tahun lebih muda darinya. Orang tua Crystal telah mengabdikan kehidupan mereka bekerja untuk orang tua pak Besar. Ketika mereka beranjak dewasa, pak Besar jatuh cinta pada ibu Cita. Tapi ia tahu tak mungkin orang tuanya memperbolehkan mereka untuk mempunyai hubungan yang lebih dari pekerja dan atasan. Ia tak pernah mengutarakan perasaannya ke Crystal, dan Crystal sendiri kemudian jatuh cinta dengan ayah Cita, Tiaz. Bu Besar, dulu satu sekolah dengan Crystal, yang disekolahkan oleh orangtua pak Besar. Ia adalah perempuan baik hati yang selalu membela Crystal ketika teman-teman Crystal mem-bullynya karena kelas sosialnya yang dianggap lebih rendah dari mereka semua. Takdir merenggut umur Crystal begitu muda. Dan tiap kali ia melihat Cita, rasa sedihnya bertambah, karena Tiaz pun, ayah Cita, kini meninggalkan Cita tanpa siapa-siapa. Seperti tekad istrinya, pak Besar pun berjanji akan menyekolahkan Cita dan mengajarkannya mandiri. Cita tidak akan dihina karena kelas sosialnya, tidak selama ia dan bu Besar masih hidup.

Cita tersenyum dan mengangguk mengiyakan pak Besar. "Yuk, ibu pasti udah menunggu di rumah," sambil merangkul pundak Kato, mereka beranjak meninggalkan lapangan 3V yang lengang. Satu lengannya mengangkat tas Cita dengan mudah, dan Cita pun mengikuti kedua sosok ayah dan anaknya dari belakang.

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang