Chapter 2

3.5K 54 6
                                    

Kejadian itu telah berlalu tiga bulan lalu. Rambut panjangku yang biasanya terkepang telah berubah menjadi potongan laki-laki. Agar aku bisa selalu di bawah perhatian pak Besar dan dilindunginya, aku dimasukkan ke asrama sekolah elite private ini. Namaku bukan lagi Cita, tapi Vito. Aku tak terlalu keberatan, karena asrama sekolah ini adalah satu-satunya tempat yang benar-benar kukenal. Sepanjang hidupku, aku tinggal di rumah kecil di pinggiran hutan Chesne, di belakang sekolah Vini, Vidi, Vici (3V) ini. Ayahku adalah penjaga lapangan sekolah ini.

Menyamar menjadi anak laki-laki? Buatku itu pun bukan menjadi masalah besar. Ibuku sudah meninggal sejak aku berumur 6 tahun karena sakit. Rambutku dibiarkan panjang karena ayahku tak terlalu pandai memotongnya. Yang mengajarkanku untuk mengepang rambut itu adalah istri pak Besar. Ibuku sejak remaja bekerja di rumah pak Besar dan istrinya, dan menjadi pekerja kesayangan bu Besar. Semenjak meninggalnya ibuku, aku mengikuti ayahku kemana-mana. Ketika liburan sekolah dan asrama ditutup, bu Besar selalu meminta ayahku untuk mengizinkanku tinggal bersama mereka, karena mereka tidak pernah mempunyai anak perempuan. Di rumah pak Besarlah aku belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aku tak terlalu pandai untuk itu semua, tapi cobalah tanyakan aku bagaimana membedakan jamur beracun dan yang tidak, memanah, menguliti binatang, memanjat pohon, membedakan daun yang bisa dimakan dan yang tidak, aku tahu itu semua. Aku adalah pelari tercepat, dan langkah kakiku pun sulit didengar oleh rusa yang ayahku dan aku buru bila kami ingin memakan daging.

Ini pertama kalinya aku masuk sekolah. Tapi aku tak takut. Aku tahu hidup itu keras, dan aku berniat mengalahkan semuanya. Terkadang rasa marah adalah satu-satunya sumber energi yang ku punya.

Sekolah 3V dijalankan lebih merupakan tempat penggojlokan untuk anak-anak orang kaya yang terbiasa dilayani. Asramanya sederhana, setiap ruangannya diisi oleh empat orang siswa yang membagi dua set tempat tidur tingkat. Kamar mandi ada empat ruangan, yang dibagi oleh setiap lantai yang terdiri oleh 4 kamar tempat tidur di setiap sayap gedungnya. Gedung asrama berbentuk kartu yang berlipat tiga yang terbuka. Sayap sebelah kiri ditempati oleh anak-anak Angkasa dimana kelas satu di lantai satu, kelas dua di lantai dua, dan kelas tiga di lantai tiga. Yang di tengah untuk Bumi, dan sayap sebelah kanan ditempati anak-anak kelas Cahaya. Kampus ini terbagi dua, satu untuk seluruh anak-anak SMP, dan dipisahkan oleh halaman bola dan memanah, adalah kampus untuk anak-anak SMA. Kampus kami, di bagian SMP, dipenuhi oleh hampir 300 siswa. Walaupun bagian kampusnya sederhana, kafetaria sekolah kami menyediakan makanan yang jauh lebih enak dan bergizi dibanding keseharianku selama 12 tahun bersama ayah.

“Hai, nama saya Vito,” tegurku ke tiga sosok laki-laki di kamar 3A itu. Disitulah kamar dimana aku akan tinggal selama tiga tahun ke depan. Bawaanku tak banyak, ku lempar ke tempat tidur bagian atas yang terjauh dari pintu masuk, karena itu satu-satunya tempat tidur yang seperti belum tersentuh tubuh orang lain.

Kuperhatikan satu demi satu sosok teman sekamarku itu. Kamarnya tak terlalu besar, tapi jauh lebih besar daripada ruangan kamar dan ruang tamuku digabung. Disitu ada empat lemari tempat baju dan rak buku yang kami bagi, dan ada karpet berukuran sedang memisahkan dua tempat tidur tingkat. Di lantai ada dua teman sekamarku sedang bermain kartu, dan yang satu sedang tiduran di atas tempat tidurnya dengan membaca buku.

Sosok gendut yang sedang bermain kartu menoleh ke atas menghadapku dan dengan senyum yang amat lebar berkata, “Eh! Anak baru! Nama gue Aziz, ini yang maen ma gue namanya Rizky, dan yang di atas itu namanya Heri, tapi dipanggil Yayank.”

“Yayank?” tanyaku sinis. “Cewek amat namanya?”

Tiba-tiba Yayank dari bunk bagian atas tempat tidur itu meloncat dan berdiri persis di hadapanku, “Jangan sok tau lo! Gak ada satu pun tentang gue yang kecewek-cewekan sama sekali.” Tatapan Yayank dingin ke hadapanku, tapi ku tatap dengan kedinginan yang sama. Gak percuma hidup sudah memperlakukanku dengan pahit. Sungguh bahkan bila malaikat mati itu datang, kan ku peluk seperti merangkul seorang sahabat lama.

Untuk beberapa lama kami saling menatap seperti itu, sebelum Aziz merelai kami dengan merangkul kedua bahu kami, “Hei, hei...gak enaklah kalo sesama temen sekamar suka berantem. Ayo, ayo...bentar lagi waktu makan malam. Minggu ini kan tugas grup A yang ngurusin kafetaria, ke bawah bareng yuk.”

Aku mendorong pelan rangkulan Aziz dan Yayank tak bergeming dari tempatnya. Rizky yang tak begitu banyak bicara hanya tersenyum dan mengambil jaket tipisnya dari lemari, dan untuk beberapa detik kulihat senyum Yayank terbit di pinggiran bibirnya. Ia seperti hanya mengetestku, entah untuk apa. Aku tak begitu tertarik dengan motifnya. Semenjak tiga bulan yang lalu, aku sudah berniat menjadikan asrama ini menjadi base-ku untuk mencari tahu siapa yang membunuh ayahku.

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang