Sakit di dadaku tidak berkurang sampai setelah bel sekolah selesai dan kami berjalan ke asrama, dadaku masih amat berdenyut. Malam itu, aku demam tinggi. Aziz yang tidur tepat di bawahku terbangun berkali-kali karena aku tak bisa terbaring dengan nyenyak dan membolak-balik dengan tidak tenang di atasnya. Akhirnya dengan nada agak marah Aziz menegurku, “Vit! Diem kek lo di atas! Gue gak bisa tidur nih lo gerak-gerak mulu!” Aku hanya menjawab dengan geraman, karena seluruh badanku terasa tak enak. Yayank yang juga tidur di atas berseberangan denganku ikut terbangun karena suara percakapan kami. Dengan satu loncatan ia pindah ke atas tempat tidurku dan tak sengaja tersentuh tanganku yang terasa amat panas.
“Vit?” tanya Yayank dengan nada khawatir. “Kenapa lo ampe panas kayak gini?” tangannya meraba keningku yang berkeringat dingin.
“Panas?” tanya CP dari bunk bawah, istilahku buat Rizky, singkatan untuk Cowok Pendiem. “Masa sih dia ampe panas gitu? Cuma disikut dadanya doang kok?”
“Iya nih anak panas banget, keringetnya keringet dingin,” jawab Yayank. “Disikut dadanya? Ngapain emang dia?”
“Tadi maen bola pas istirahat,” CP menyahut masih setengah tidur.
“Bentar, gue kompres dulu. Besok pagi kita bawa ke klinik.”
“Nggak, gue gak papa,” jawabku serak menahan tangan Yayank.
“Heran, gue yakin banget dia gak diapa-apain selain kena sikut di dada doang,” Aziz yang kini sudah berdiri di sebelah tempat tidur kami berkerut.
“Huh, gue jadi inget ama kakak gue pas dia baru ‘tumbuh’ terus gak sengaja kena pukul temennya eh dia kesakitan ampe nangis-nangis semaleman,” sahut CP yang masih juga belum rela benar-benar bangun dari tidurnya.
“Tumbuh apaan kakak lo?” tanya Aziz polos.
“Tumbuuhh...itu loh, masa lo gak tau sih?” sahut CP lagi.
“Ah lo ngomong tuh yang jelas kek Ky! Gue juga gak ngerti lo ngomongin apaan,” sahut Yayank.
“Payudara! Tumbuh payudara! Baru ngerti sekarang?”
“Hahahahahahaha!” Aziz tertawa terbahak hingga perutnya terlihat terguncang dibalik kaos oblongnya. “Kebayang gak kalo Vito kesakitan gara-gara itu? Huahahahahaha!” Aziz masih tertawa meneruskan khayalannya.
Aku yang dapat mendengar itu semua hanya meringis di tengah demamku. Kini aku baru tahu kenapa dadaku sakit sekali terkena sikut tadi siang. Betapa menyedihkannya! Bahkan untuk tahu mengenai hal beginian aku harus mendengarnya dari teman cowok! Tiba-tiba rasanya aku tak tahan menutupi hal ini dari teman-teman sekamarku ini. Kumenatap dengan lemas satu per satu muka khawatir mereka di tengah-tengah malam ini.
“Makasih ya Pe’, gue sekarang ngerti kenapa gue ampe sakit gini.”
“Uhuk!” Aziz tersedak di tengah ketawanya.
Yayank hampir terjatuh dari atas bunk tempat tidurku.
CP terloncat dari atas tempat tidurnya hingga kepalanya terjeduk dengan bunk di atas kepalanya.
“Gue mau cerita lebih panjang ama kalian...tapi gue lagi gak ada kekuatan. Tolong jangan bawa gue ke klinik, suster Nancy gak tau kalo gue cewek. Ini masalah hidup dan mati. Kalau gue udah sembuh gue janji ceritain,” lanjutku dengan lemah.
Aziz, Yayank, dan CP semua masih bertampang shock di tengah kamar kami. Aku sudah kembali terlelap dengan handuk air dingin yang tadi diambilkan oleh Yayank. Sungguh aku tak menyangka menemukan keluarga lagi di tengah Asrama di Lian ini. Tiga sosok yang amat berbeda, dan seperti hujan yang menyirami tanah kering, mereka melembutkan hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...