Keesokan paginya, tepat jam 4:30 pagi, waktu Cita biasa selesai mandi, ia duduk bersila di ujung tempat tidur CP menatap CP yang masih nyenyak tertidur. Mungkin karena ditatap begitu intense, atau kaki CP yang bergerak dan terkena pantat Cita yang duduk, yang pasti CP terbangun dan karena kaget ia terjeduk kasur Yayank di atasnya.
“Aduh!” teriak CP dan Cita berbarengan. Cita mengaduh lebih hanya karena ikut toleransi kepala CP.
Sambil menghapus kepalanya, “Lo nih hobi banget sih ngagetin orang!” teriaknya berbisik. Yayank dan Aziz masih terdengar mendengkur pelan.
“Pe’, gue tau lo ternyata gak ngompol kan sebulan yang lalu?” Cita tiba-tiba tersenyum iseng.
CP teringat kejadian yang lalu dan mukanya memerah. “Sana! Sana! Gue udah bilang kan elo gak boleh ke tempat tidur cowok? Sana!” Katanya sambil mendorong Cita. Cita tergelak. Di tengah malunya CP menatap Cita lega, karena tawa Cita yang hilang sebulan ini terdengar kembali. Mendengar ribut-ribut di bawah Aziz dan Yayank pun terbangun.
“Ugh ribut banget sih lo pada!” Yayank terdengar terganggu. Tapi ia tak bisa terlalu marah, ia pun kangen dengan suara tawa Cita.
“Ada apaan sih?” Aziz mengucek-ngucek matanya yang masih ingin terkatup. Muka Cita tiba-tiba berubah menjadi serius.
“Sorry yah gue ngejauh sebulan ini...”
“Jiaaahh...gitu aja dimasalahin. Jam berapa sih sekarang? Gue sih lebih marah elo ngebangunin gue sebelum terompet jam 6 bunyi, Vit!” jawab Yayank menarik kembali selimut tebalnya.
“Bentar! Ada yang mau gue tambahin.”
Yayank kembali duduk dari rebahannya. Mata Aziz masih kriyep-kriyep dan terlihat seperti beruang besar ditutupi selimut.
“Waktu kita bersih-bersih rumah kaca itu, gue ngeliat beberapa tanaman gue gak kenalin. Tanaman yang gak ditanam ama bokap gue.”
“Terus emangnya kenapa kalo ada tanaman gak lo kenal?” tanya Aziz sudah bersiap tidur lagi.
“Orang-orang yang ngobrol ama Harlan di bar, emang menurut lo gak kayak drug dealers di TV? Mungkin gak kalo mereka make hutan Chesne yang gede dan gak diutak atik sama polisi untuk numbuhin tanaman-tanaman illegal?” tanya Cita membalas.
“Hmm...” Aziz masih menjawab malas.
“Ya mungkin karena itu tanamannya bu Herbologi, siapa namanya? Bu Tati?” celetuk Yayank.
“Hmm..gue gak yakin, karena dari dulu Bu Tati gak gitu kreatif kalo milih tanaman. Dari tahun ke tahun gak berbeda pilihannya. Ini jenis-jenis jamur yang gue gak kenal, dan juga bunga-bunga yang gue belom pernah liat. Gue mikir semaleman...mungkin gak sih ini ada hubungannya ama kematian bokap gue?”
“Hmm...coba nanti gue liatin lebih dekat,” kata Yayank.
“Emang lo tau tanaman, Yank? Kita kan belum harus ngambil kelas herbologi,” jawab Aziz.
“Udah, gue sama Cita kan ngambil Herbologi sebagai kelas extra pilihan. Lagian gue kan suka langganan majalah aneh-aneh. Kemaren ada artikel panjang di majalah kedokteran yang ngebahas jenis-jenis tanaman yang bisa dibuat obat dengan proses kimia yang lumayan sederhana. Kali aja ada? Ohh, ama gue cari di web nanti kalo gue udah tau tampang tanaman yang elo omongin.”
“Menurut gue kita harus ngikutin Harlan ama Dani,” CP tiba-tiba bersuara.
“Gue kok curiga banget mereka ada hubungannya juga ama tanaman aneh-aneh en jamur di rumah kaca. Pas kita berburu bareng kemaren itu, gak sengaja gue denger Dani bilang ke Harlan dia pernah ngeliat kita berdua sebelumnya, Cit.”
“Ya mungkin aja dia pernah liat kita berdua, Pe’. Kita kan sering bareng-bareng?” tanya Cita.
“Kita bareng-bareng selalu berempat, kecuali waktu kita ke rumah lo waktu dulu.” CP hendak melanjutkan “waktu sebelum kita ngebersihin rumah lo dari darah bokap,” tapi ia tak sebodoh itu.
Cita merenungkan semua perkataan-perkataan sahabatnya.
“Kita cuma punya waktu tiga hari sebelum sekolah ditutup buat liburan musim dingin. Setelah itu kita gak bisa monitor asrama sama sekali. Kalian bakal ada dimana liburan ini?” tanya Cita.
Ketiga anak laki-laki saling menatap satu sama lain. Mereka semua telah setuju untuk menghabiskan liburan di rumah CP ketika Cita sedang menyendiri selama sebulan ini. Dan mereka merasa tak enak karena mereka belum bertanya apakah Cita ingin ikut bergabung atau tidak.
“Kalian bakal bareng-bareng ya?” tanya Cita ketika mereka bertiga tak ada yang menjawab.
“Iya, CP nawarin kita liburan di rumahnya. Nyokap gue bakal ada tour untuk nyanyi di bar kota lain. Adek-adek gue bakal sama tante gue, dan gue males ikut mereka. Aziz, orang tuanya bakal pergi ke luar negeri yang udaranya lebih hangat. Kita bakal dijemput naik RV dan supirnya Aziz dari sini. Lo mau ikut?” tanya Yayank akhirnya.
Cita ingin langsung menjawab “ikut!” tapi dia teringat ibu Besar telah mengirim surat untuk memastikan Cita pulang bersama Kato ke rumah keluarga Besar. Hanya dia tak ingin berpisah dengan sahabat-sahabatnya begitu lama. Pasti Kato membawa satu atau dua orang temannya untuk liburan di rumahnya, dan kalau ada temannya, itu hanya berarti satu: Cita dicuekin oleh Kato.
“Gue tanya dulu ya sama bu Besar? Beliau pasti nelepon nyokap lo deh Pe’, abis itu. Gak papa kan?”
“Ya gak papa. Lo kan bisa sekamar ama adek cewek gue,” jawab CP ringan.
“Kalo gitu besok pagi-pagi abis sarapan kita ke rumah kaca yuk?” ajak Cita.
“Oke, tapi jangan bangunin gue pagi-pagi besok! Emang dikira gak capek apa jadi tutor satu angkatan?” umpat Yayank perlahan sebelum ia kembali menarik selimut tebalnya, dan tak lama kembali mendengkur pelan.
CP menatap Cita tersenyum, dan Cita mengikik menutup mulutnya.
“Kangen gue ama lo!” Cita mendorong bahu CP pelan.
“Lah yang ngejauh siapaa, yang kangen siapa?”
“Iya. Tapi gue emang perlu nyendiri dulu waktu itu, Pe’.”
“Gue ngerti, tapi kalo nyendiri tuh jangan lama-lama. Lo kan jadi gak bisa minta bantuan Yayank untuk tutor lo selama musim ujian kemaren. By the way, gimana hasil ujian lo?”
Cita meringis masam, “Hmm..tebak, coba.”
“Jelek ya?”
“Iya...tapi kalo gue itung-itung masih gak gagal semualah...kecuali elektro. Gue gagal total di elektro. Oh, well...”
“Gue denger elo dapet nilai paling tinggi di olahraga?”
“Hehehe...iya. Ya terang aja, masa testnya memanah? Pak Eko aja kalah jago memanah dibanding gue.”
“Hahahahahaha!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...