Pekerjaan menguliti memang tak memakan waktu terlalu lama, tetapi untuk memotong-motong rusa secara benar adalah pekerjaan yang cukup memakan waktu. Apalagi karena kami tak bisa begitu saja menggunakan freezer besar di kafetaria sekolah kami. Kato mengarahkan semua anak-anak lelaki itu dengan seksama. Kuperhatikan ia dari atas rumah panggungku dengan pandangan berrcampur kagum dan sebal.
Kato adalah seorang pemimpin natural. Sejak kecil ia selalu menjadi pacuan teman-temannya. Sementara aku yang penyendiri dan sulit (dan hampir tak pernah punya kesempatan) untuk berteman, ia adalah kebalikannya. Padahal ia, seperti aku, adalah anak tunggal. Ada saja usul-usulnya untuk bermain. Sepertinya semua tahu bahwa bila Kato ada di tengah mereka, mereka tak akan pernah merasa bosan.
Baru sore hari ketika kami selesai dengan segala pekerjaan kami. Aku masih berniat untuk kembali ke rumah panggung ini keesokan harinya, karena aku masih harus menunggu 24 jam untuk memastikan kulit rusa itu benar-benar kering sebelum aku memikirkan langkah berikutnya.
Dengan badan lelah dan dikelilingi bau keringat khas remaja laki-laki, aku mengikuti langkah mereka pulang. Aku asik sendiri dengan pikiranku ketika tiba-tiba ada suara teguran mengagetkanku.
“Diem aja, Cit?” suara itu jelas tetapi hanya cukup untuk pendengaranku.
Aku terlonjak dan tersandung akar pohon diinjakanku. Refleks tanganku mencengkeram mencari pegangan, dan tangannya menangkap pencarian itu. Aku hanya mendongak menatap matanya, Kato. Tangannya kukibaskan lepas.
“Maaf yang waktu di kafetaria itu, gue gak siap aja ketemu lo disitu. Gue malah takut tiba-tiba ngebuka rahasia lo.”
“Iya,” jawabku pendek.
“CP tahu ya kalo lo cewek?” bisiknya lebih pelan lagi.
“Mereka semua tahu. Maksud gue, semua teman sekamar gue. Teman-teman lo ya jelas nggak tahu.”
Kato tersenyum tanpa arti yang aku mengerti. Tiba-tiba dia mengacak rambutku.
“Kamu tambah gede, ngerti gak sih lo, Cit?” dan dia mempercepat langkahnya mengejar temannya yang tinggi di paling depan barisan.
Sesampainya kami di kampus, hari benar-benar telah gelap. Kini kami berpisah, baju kami penuh lumuran darah. Kami tak tahu apakah mengendapnya kami ketahuan, hari itu. Dan sungguh saat itu, kami tak peduli. Yang kami inginkan adalah mandi, kemudian terlelap tidur hingga esok hari. Ketiga lelaki sahabatku memilih mandi sebelumku. Kemudian lewat undian, meninggalkan Yayank untuk menjaga pintu kamar mandi ketika giliranku tiba. Kubuka pintu kamar mandi, dan kutemukan Yayank terlelap duduk menyender ke dinding.
Dengan perlahan kudekatkan mulutku ke telinganya dan kuteriakkan, “YAAANK!”
Yayank terlonjat pucat dari tidurnya untuk menemui cengiran isengku di hadapan mukanya. “ANJRIT LO VIT! SUE’! BANGKE’!!!” teriaknya marah. Sementara ku berlari secepat-cepatnya sambil menutup mulutku yang hendak mengumbar tawa terbahak-bahak. Cepat aku membuka kamar kami dan meloncat ke tangga tempat tidur bagianku. Aziz dan CP karena lelah yang luar biasa tidak pun bahkan membuka mata mereka. Yayank kemudian menyusulku perlahan. Dengan mata berat ia berkata, “Tunggu aja Vit, pasti gue bales. Sekarang gue mau tidur dulu.”
---
“Dan, lo yakin tu anak2 yang lo liat di tempat baru kita?” bisik Harlan ke Dani ketika Kato membersihkan badannya di kamar mandi.
“Yakin banget, bang. Anak cowok baru yang badannya kecil itu gampang banget untuk dikenalin.”
“Hmm...Vito, kata Kato namanya. Tapi kenapa ya pas pertama ketemu si Kato manggil dia Cita?”
“Hahahaha, iya. Mana ada cewek bisa ngulitin rusa kayak tu anak tadi. Gak ada peduli-pedulinya dia sama darah.”
“Hahaha, iya. Badan kecil-kecil gitu kuat banget! Berani-beraninya lagi dia tadi ngamuk-ngamuk ke kakak kelas karena rusa sasarannya kita bunuh duluan. Sumpah tu anak punya nyali.”
“Jadi yang mana yang lo liat di kebun kita itu? Kan lo bilang ada dua orang?”
“Vito sama yang dipanggil CP itu, bang.”
“Hmm...mereka berempat tapi kayaknya deket banget ya?” untuk sesaat mata Harlan menerawang. Ingatannya melayang ke waktu dua tahun yang lalu, saat mereka masih seumur Cita dan teman-temannya. Titan, Kato, dan dia. Tertawa.
“Bang!” tegur Dani lagi.
“Huh? Ya udah, mau diapain lagi? Kayaknya mereka juga gak tau apa-apa kan tentang poppy sama jamur kita, kan? Santai aja. Pantau terus. Sebentar lagi waktu untuk panen, kita harus memberi akses malam-malam ke orang-orang XYZ club. Sekarang waktu kita tidur, Dan,” tutup Harlan dengan mulut menguap. Dani pun pamit melangkah kembali ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...