Pagi itu keluarga Besar bersiap untuk ke kota untuk melihat konser musik tahunan di halaman walikota yang kali ini mengundang paduan suara dari 3V di atas pimpinan Aziz. Cita memilah bajunya yang baru dibelikan oleh bu Besar. Tetapi baju itu semuanya, baju perempuan. Tadi malam ia telah memastikan dengan pak Besar bahwa untuk pergi ke pertunjukan itu, ia harus menjadi Vito, bukan Cita, karena banyak teman-teman 3Vnya yang pasti akan berada disana. Bu Besar terlihat tak suka bahwa Cita harus berpakaian seperti laki-laki. Apalagi karena ia sudah membelanjakan Cita berbagai gaun sederhana cantik. Mendengar komentar pak Besar bahwa Cita harus berpakaian sebagai laki-laki membuat bu Besar pergi meninggalkan mereka sambil bergumam pada dirinya sendiri, "Dari duluuu mau punya anak perempuan. Giliran ada, disuruh jadi anak laki-laki juga. Agh! Capek aku!"
Pikiran Cita kembali ke pilahan baju di atas tempat tidurnya. Ia sendiri kagum atas kedetail-an belanjaan bu Besar. Beliau telah memilih set celana dalam yang pas ukurannya dengan dirinya, satu box pembalut wanita yang cukup buat satu semester depan untuk dibawa ke asrama nanti, pakaian dalam yang juga pas untuk ukurannya, dan keperluan-keperluan wanita lain yang ia cukup malu kalau harus meminta langsung pada bu Besar. Terharu, air mata Cita sempat tergenang di matanya.
"Pas semua bajunya, sayang?" tanya bu Besar yang masuk ke kamar Cita setelah mengetuk pintunya sebentar.
Tak menjawab, Cita tersenyum besar dan memeluk tubuh ramping bu Besar.
"Hmm, kamu jadi lebih ekspresif semenjak pulang dari asrama? Seneng juga ibu dapat pelukan terus. My dear petite little girl," dan bu Besar membalas pelukan Cita lebih erat.
"Kamu tau gak kalau kamu makin mirip ibu kamu?" tanya bu Besar tiba-tiba.
Selama ini bu Besar hampir tak pernah menyinggung ibu Cita ke Cita secara langsung. Apalagi selama ayahnya masih hidup. Mungkin karena ayah Cita yang cenderung memilih untuk menguburkan semua kenangannya. Foto-foto keluarga mereka yang memang tak pernah banyak yang digantung ibunya di rumah semua diturunkan dan disimpan di koper yang hampir terlupakan oleh Cita.
"Oh ya, bu?"
"Hmm, iya...ibu belum pernah cerita ke kamu ya kalau Crystal, ibumu, adalah teman dekat ibu. Ibumu memang kemudian bekerja di rumah ini semenjak ia lulus kejuruan SMA. Ia membantu kakak pak Besar mengurus perusahaan keluarga mereka. Kemudian ketika ibu menikah dengan pak Besar, ibumu lah yang selalu menemaniku menjadi proof reader semua tulisan-tulisanku yang dibukukan. Beliau juga yang menemaniku ketika aku harus promosi buku-buku keliling negara atau kota." Tangan bu Besar masih tak melepas bahu Cita.
Untuk beberapa lama Cita tercenung, seakan mendengarkan tentang kehidupan orang yang ia tak kenal. Cerita ayahnya tentang ibunya begitu terputus dan jarang.
"You're beautiful like her. Coba ibu lihat kamu pakai salah satu gaun ini, ya?"
"Tapi aku kan gak mungkin pakai ini ke konser siang ini, bu?"
"Iyaaa ibu tahu, tapi ibu kan ingin juga melihat kamu cantik. Nanti sesudah ibu foto, ganti lagi deh dengan jeans dan sweatermu."
Cita pun berganti baju ke gaun berwarna midnite blue dan sweater putih menutupi pundaknya. Bu Besar kemudian menaruh jepitan kupu-kupu kecil di sudut rambut pendek Cita. Cita sendiri hampir tak mengenali sosok yang ada di hadapan cerminnya.
"Oh! This deserves some audience!" seru Bu Besar. Ia kemudian menarik cepat tangan Cita yang panik karena ia tak siap dilihat orang lain.
"Papa! You have to see this gorgeous little girl! Katoooo, ambil kamera mama, sayang!"
Dan untuk lima belas menit kemudian, pipi Cita berona merah karena dengan canggung ia diatur untuk berpose di rumah keluarga Besar. Sementara Kato memfoto dan mengerdipkan matanya. Di akhir puncak malunya, bu Besar menyuruh Kato untuk berganti baju rapih dan keduanya difoto di pundak tangga memasuki rumah mereka.
"Bilang siapa-siapa tentang ini, gue bales berlipat ganda pokoknya!" desis Cita ketika giliran mereka mengambil foto bu Besar dan pak Besar di tempat yang sama.
"Siapa yang mau bilang-bilang? Kalo foto ama cewek yang berharga mahal, cukup disimpan buat diri sendiri aja, kamu gak tau itu?"
"Cewek yang berharga mahal?"
"Kamu cantik pakai gaun itu," tukas Kato tanpa menjawab jelas pertanyaan Cita. Muka Cita merah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...