Chapter 21

1.5K 27 2
                                    

Dengan jaket tebal, setelah semua lampu-lampu kamar asrama dimatikan, Kato bersiap keluar. Harlan menegurnya menanyakan dia hendak kemana, tetapi Kato yang teringat cerita CP tentang Harlan dan Dani di bar XYZ hanya berkata ia ada urusan. Harlan berpikir Kato pasti hanya ada janjian dengan salah satu murid perempuan di asrama yang tak jauh dari 3V dan menarik selimut tebal yang menutupinya.

Kato sendiri tak begitu tahu ia harus mencari Cita dimana. Tempat pertama yang ia akan datangi adalah rumah di atas pohon tempat terakhir ia bertemu Cita. Selain dari itu, ia hanya akan mengikuti kakinya melangkah dan kembali mengasah pengetahuannya untuk membaca jejak yang pernah diajarkan oleh ayah Cita kepadanya dua tahun yang lalu. Angin dingin sempat membuatnya menyesalkan janjinya kepada CP untuk mencari Cita.

“Ugh, Cita...Cita. Ngapain lagi lo, Cit?” umpatnya perlahan setelah keluar dari asrama. Selama setengah jam ia berjalan dengan senter kecil ke arah dalam hutan. Tak terlalu lama kemudian, ia menemui rumah di atas pohon itu, tetap gelap dan sepi. Cita tak ada disitu. Kato merenung sebentar, ketika kemudian ia mendengar suara panah demi panah yang dilepaskan dan menemui targetnya. Di selingan suara panah membelah angin itu, ada suara isakan. Tanpa suara, Kato mengarahkan langkahnya menjauh dari rumah pohon ke arah suara panah tersebut. Sepuluh menit berjalan, ia melihat api unggun dan sosok Cita memanah sambil menangis.

“Cit?” tegur Kato pelan. Cita terlonjak dan menoleh sambil tetap merenggangkan busur panahnya ke arah Kato.

“Cit, Cit...Ini gue, Kato. Jangan dilepas panah lo!” seru Kato agak panik.

Cita menurunkan busurnya dan dengan panik mulai menghapuskan mukanya yang basah.

“Ngap...ngapain lo disini?” tanya Cita tergagap.

“Nyari elo,” jawab Kato sambil mendekati Cita. Refleks, Cita mundur menjauh.

“Cit, gue udah nyari elo hampir sejam nih...gue capek banget. Lo jangan malah ngejauh dong.”

“Siapa yang minta lo nyariin gue? Gue gak pernah minta elo,” Cita membalikkan badannya menyembunyikan mukanya yang masih sembab sambil bersiap mengambil panah-panahnya yang menusuk target.

Kato berjalan ke arah api unggun untuk menghangatkan diri. Ia kemudian mengeluarkan thermos dan gelas kaleng dari tas di punggungnya.

“Lo mau? Dingin gini enak minum teh panas,” Kato tak menjawab provokasi Cita. Cita akhirnya mendekat juga ke arah api unggun dan mendudukkan dirinya tak terlalu jauh dari Kato.

“Mau,” jawabnya singkat.

Setelah mengisi gelas kaleng untuk Cita dan dirinya, Kato berkata, “Temen-temen lo khawatir semua ama lo.” Ia perhatikan Cita lekat-lekat. Tanpa perubahan ekspresi, Cita berkata, “Iya, gue tahu. Mereka cerita ya ama lo?”

“Iya.”

“Harlan apa hubungannya sih To, sama orang-orang itu? Lo tau gak? Gue gak bilang tu orang pasti yang ngebunuh bokap gue, tapi gue yakin tu orang-orang bukan orang-orang baik-baik dari gaya-gayanya. Kayak drug dealer malah...”

“Gue juga gak tau, Cit. Gue juga pengen tau...tapi itu masalah yang bisa ditunggu dulu. Lo ngapain malam-malam disini?”

“Gue bisa numpahin frustasi gue disini, To.”

“Sendirian?”

Cita tak menjawab, hanya menggoyangkan tubuhnya yang mulai kedinginan karena diam. Kato membuka satu layer jaketnya dan menaruhnya di punggung Cita. Cita hanya menengok tersenyum dan merapatkan jaket Kato ke tubuhnya.

“Ngapain sendirian, kalau bisa ngebagi masalah lo ama orang lain, Cit?”

“Gue gak tau cara lain untuk ngehandle masalah gue, To. Kayaknya waktu gue ngeliat orang dengan sepatu oranye itu, gue kayak nabrak gunung. Kayaknya semuanya jadi kerasa riil banget. Tiba-tiba gue kayak kehilangan bokap gue buat kedua kalinya. Gue tau sahabat-sahabat gue ada buat gue, tapi gue gak tau gimana caranya untuk ngebagi beban gue. Gue ngerasa tenggelem, dan gue bener-bener kesepian.” Cita juga gak mengerti kenapa ia bisa bercerita ke Kato dan tak bisa membaginya dengan sahabat-sahabat sekamarnya. Mungkin karena Kato juga kenal ayahnya. Mungkin karena Kato adalah temannya yang paling lama, dan satu-satunya deskripsi paling dekat untuk kata “keluarga.”

Kato kembali diam, tetapi ia merangkul bahu Cita di sebelahnya. Ia menengok melihat Cita yang berusaha keras untuk tak menjatuhkan air mata.

“Kalo lo nangis, gue juga gak nganggep lo lemah kok, Cit. Siapa sih yang nggak nangis ngehadepin apa yang elo udah alamin?” tanya Kato tak melepaskan rangkulannya di bahu Cita yang tak bergeming dari posisi duduknya. Cita lurus menatap api unggun di hadapannya, tangannya memeluk gelas kaleng tehnya, dan tak mendekatkan bahunya ke arah Kato.

“Gue harus ngapain ya sekarang, To?”

Ada sesuatu dari nada pertanyaan Cita yang menarik ulu hatinya. Anak perempuan kurus ini, yang sekilas lebih mirip anak laki-laki daripada perempuan, yang tadi gagah menarik busur panahnya, saat ini mengingatkannya dengan sosok pucat yang pingsan di pintu rumahnya berbulan yang lalu.

“Yang pasti sih sekarang lo harus pulang ke asrama. Masalah Harlan dan apa hubungannya dengan laki-laki bersepatu oranye yang kayak drug dealer menurut lo itu, kita selesein bareng-bareng. Yang pasti lo harus berenti jadi zombie yang jalan di siang bolong kayak selama ini. Kalo lo mau latihan panah malam-malam, tinggalin aja pesen buat gue.” Kato berpikir sebentar kemudian melanjutkan, “Hmm... lo tau kan batu gede yang di depan kafetaria yang suka dipake duduk sama anak-anak kelas 3? Di deket situ ada pohon tua yang ada lobang gedenya, tau kan?”

“Iya, tau.”

“Kalo lo mau ketemu ama gue buat manah malam-malam, tinggalin pesen disitu. Gue pasti selalu coba nemuin lo.”

Cita mengangguk.

“Balik yuk? Gue udah mau beku disini.” Kato mengambil gelas kaleng Cita dan menuangkan sisa isi teh di dalamnya. Ia kemudian menjulurkan tangannya untuk membantu Cita berdiri. Cita tak menolak uluran tangan Kato kemudian berdiri mengibaskan debu di celananya. Ia kembalikan jaket Kato dan dalam diam mereka berdua berjalan kembali ke asrama. Kato menggamit tangan Cita yang terasa beku di genggamannya. Cita tak menarik tangannya, tapi ia juga tak mengenggam balik tangan Kato. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing hingga kembali ke kamar mereka.

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang