Chapter 7

2.2K 38 0
                                    

“Kriikkk” suara pintu rumah yang sudah berbulan tidak dibuka itu mengeluarkan keluhannya. Jendelanya kini telah berdebu dan laba-laba berbahagia menemukan tempat tinggal yang tak terusik oleh manusia. Aku menatap rumahku dengan sedih, bagaimana pun aku telah tumbuh di rumah yang sama selama 12 tahun lamanya.

Suara-suara ayam mulai berkokok. Kabut yang selalu menutupi hutan Chesne di pagi hari mulai tergantikan oleh sinar mentari yang perlahan merekah membelah bumi. Suara-suara burung penyanyi memenuhi telinga dan kepala kami, seperti tak rela kami memikirkan hal lain selain keindahan suara mereka. Di sela-sela sinar mentari yang menerangi ruangan kecil rumahku, kumelangkah masuk ke satu-satunya ruangan yang  kami bagi untuk mengerjakan apa pun. Di lantai itu masih ada bercak-bercak darah, tak pernah ada yang membersihkannya. Sudah mengering, yang tertinggal bau amis yang menyengat. Menggolakkan isi perutku yang belum berisi.

“Nyari apa kita disini, Cit?” tanya CP sambil menutup hidungnya.

“Gue juga gak tau, Pe’. Gue cuma perlu kesini lagi, mungkin cari cara biar gue bisa berhentiin mimpi buruk waktu gue ngeliat bokap gue dipukulin ampe gak ada...” tak terasa air mata mengalir dari mataku. Kenapa gue lemah banget? Kenapa gue gak bisa bantuin ayah hari itu? Kenapa gue takut? Rizky berdiri tegak di sampingku, merangkul bahuku dan matanya menatap nanar ke tempat yang sama, bekas genangan darah di hadapan kami.

“It’s okay, Cit. Nanti kita minta bantuin Aziz ama Yayank, kita bersihin lagi yah tempat ini? Mungkin ini bisa jadi base camp kita kalau kita ngerencanain petualangan-petualangan yang ada di hadapan kita?”

Tiba-tiba kuteringat sesuatu dan berlari ke arah bekas kamarku. “Ah, masih ada! Masih ada, Pe’!”

“Apaan yang masih ada, Cit?”

“Ini!” seruku sambil membawa satu set panah berburu dan busurnya kembali ke ruang serba guna.

“Ah...janji ama Aziz?”

“Iya. Hmm...ini busur paling keren yang pernah ada, karena dibuat dengan tangan oleh ayahku. Kita bisa nangkep macem-macem sama ini,” senyumku sumringah.

CP hanya tersenyum memandang kecerahan mukaku kembali, dan hendak mengucek kepalaku ketika matanya tertumbuk sesuatu di sudut ruangan.

“Eh, Cit. Apaan tuh?” Ia berjalan ke arah benda kecil yang sekarang telah bercampur dengan debu.

“Hmm, dari mana nih Cit?” Ia arahkan kotak kecil itu ke senter yang masih kupegang. “XYZ Bar” bacanya perlahan. “Ini bar yang ada di tengah kota itu bukan sih?”

“Coba sini gue liat,” dan Rizky menyerahkan kotak korek api itu ke tanganku. Setelah kupelototi dengan seksama dengan kerutan khas di atas kedua alis mataku, kumasukkan kotak korek api itu ke jaket ringan yang kupakai. Udara musim gugur di bulan September di Lian sudah mulai dingin.

“Yuk ah, kita panggil Aziz ama Yayank buat bantuin kita bersihin rumah lo.”

“Ayo. Bentar lagi ada role-call kan mastiin semua masuk asrama tadi malem?”

“Oh iya, hari ini role-call jam 9 kan ya? Kita harus cepat-cepat balik!”

Berdua kami berlari menghindari kemungkinan terlihat guru-guru yang kebetulan telah keluar ruangannya masing-masing.

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang