Mereka duduk hanya setengah jam disitu, mereka harus cepat-cepat bersepeda kembali ke asrama. Untuk menghemat waktu, Cita bergoncengan dengan Rizky karena kini perjalanan yang mereka tempuh haruslah menaiki bukit.
“Ugghh..berat banget kamu, Cit!”
“Vito! Vito! CePeee! Nanti lo lupa teruss!”
“Iya deh, iyaa. Tapi lo beraat, gue gak kuat nih!” Rizky terbelok-belok menggonceng Cita.
“Aah, udah sini tukeran sepeda!” seru Yayank.
Satu-satunya sepeda yang mempunyai boncengan memang hanya sepeda yang dipakai Rizky. Yayank pun menggonceng Cita dan mengayuhnya dengan tak banyak usaha.
“Lo kuat banget, Yank? Gak nyangka gue. Padahal lo lebih kurus daripada CP.”
“Kok lo manggil dia CP?”
“Iya, singkatan gue buat dia, Cowok Pendiem. Abis tu anak gak banyak bicara.”
“Ooh...”
“Tapi lo kok bisa kuat gini?”
“Hmm..gue udah kerja dari gue kecil, Vit. Kerjain apa aja, asal gak minta-minta. Karena pas kecil gue gak bisa ngambil kerjaan yang banyak make otak, kerjaan gue berhubungan ama fisik semua. Dulu gue kerja di pelabuhan yang gak gitu jauh dari sini, ngangkat barang.”
“Pasti berat untuk anak kecil,” Cita menjawab perlahan sambil menepuk-nepuk punggung Yayank dari belakang.
“Ah, gak papa juga, Vit. Karena gue kerja disana, gue banyak belajar. Salah satu kapten kapal yang ngajarin gue banyak tentang elektronik, dan ngasih gue bermacam-macam buku yang ngebantu gue untuk mulai belajar. Dia selalu membelikan gue buku yang gue minta. Mungkin karena dia gak punya anak, dia jadi baek ama gue.”
“Mungkin dia tahu kalo elo anak yang aslinya pinter, jadi dia rela beliin lo macem-macem.”
“Hahahaha! Boleh juga lo muji orang!”
Tepat setengah jam kemudian, beberapa saat sebelum gerbang asrama ditutup permanen untuk malam itu, sahabat ber 4 itu masuk.
“Huaahh...hari yang melelahkan!” geliat Aziz, baju kaosnya terangkat sedikit, memperlihatkan sedikit pusarnya.
“Kita belum ketemu apa-apa,” Cita tertunduk.
“Ah, gak papa, Cit. Tapi kita senang-senang, seru! Terus ketemu ibunda,” senyum Rizky sambil merangkul bahu Cita yang merendah.
“Kita harus mulai cari tahu kita cari apa...kalau kita usaha terus mungkin nanti misteri terbunuhnya ayah lo bisa ketahuan,” Yayank bersiteguh.
Malam itu, ketika tubuh kelelahan ke 4 sahabat terbaring lelah di atas tempat tidur, Aziz dan Rizky tertidur cepat dan lelap. Sementara Yayank dan Cita masih terbangun memandang langit-langit.
“Vit?”
“Apa Yank?”
“Lo belum tidur?”
“Lah elo manggil. Elo gak tidur?”
“Gak bisa tidur, gue.”
“Kenapa lo?”
“Elo gimana ngeliat gue?”
“Maksud lo?”
“Elo ngerasa kasian, ngerasa gue butuh dikasihani?”
“Nggak. Gak ada yang berubah perasaan gue ke elo dari pagi ini, sampe malem ini.”
“Bener?”
Dalam kegelapan, Cita tersenyum.
“Yank, gue paling tau betapa bencinya seseorang untuk ngerasa dikasihani. Lo kira bahan bakar apa yang gue pake untuk gak patah arang setelah ngeliat ayah gue dibunuh di depan mata gue? Gue ngerasa marah banget, selain marah ama yang ngebunuh ayah gue, gue juga marah ama pandangan mata rasa kasihan.”
“Iya...elo tau perasaan gue.”
“Emang lo liat ada perubahan dari CP ama Aziz, nggak kan?”
“Nggak sih...”
“Yank, teman itu ada di saat senang dan ada di saat susah. Tapi saat yang susah yang ngebuktiin aslinya pertemanan. Kalian semua benar-benar pengganti keluarga buat gue. Makasih.”
“Udah ah, Vit! Jadi corny begini.”
“Lah elo yang mulai sih?” Cita menyengir.
“Makasih juga, Cita...” tanpa terdengar Yayank berbisik di tengah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...