Chapter 32

1.4K 30 0
                                    

Tiga remaja tanggung itu pun mulai berjalan ke atas. Harlan mengakui bahwa ia tak tahu pasti gudang mana tempat Cita dikurung. Ia hanya akan membawa rombongan lebih mendekat ke arah base camp tempat dimana Cita bertemu dengan bos Mark. Mereka berjalan mengendap-endap. Kato mengerahkan semua kemampuan trackingnya yang ia ingat. Di dekat base camp, mereka harus keluar dari jalur utama, karena anggota komplotan semakin banyak terlihat.

"Jalur ini terlalu sulit untuk dibuka, kayaknya kita perlu turun lagi deh sedikit, kayaknya tadi di bawah ada jalan bercabang yang kita bisa lewati," bisik Kato ke arah CP dan Harlan. Kabut mulai turun, dan langit yang lebih cepat gelap di musim dingin mulai menjadi musuh baru untuk anak-anak remaja ini. Agar bisa menggunakan senter kecil dan tetap tak terlihat, mereka harus benar-benar menjauh dari jalan utama.

"Gue gak tau gimana caranya ke arah base camp dari sini, To," aku Harlan.

"Iya, gue tau. Bentar, gue harus mikir gimana caranya untuk lebih mengarah ke tempat yang lo jelasin tadi."

Di tengah-tengah percakapan mereka, tiba-tiba terdengar teriakan riuh, dan bau asap tercium. "Polisi! Polisi! Ayo bakar gudang-gudang coca! Cepat!" Dan dengan pandangan panik Kato, Harlan, dan CP saling berpandangan. "Kita harus lari kesana! Cita bisa ikut dibakar hidup-hidup!" CP berseru.

Mereka kini sudah tak terlalu peduli kalau mereka dikenali atau tidak. Anggota-anggota gerombolan yang sibuk berlari dan membakar sendiri gudang-gudang mereka untuk menghapuskan bukti tak lagi melihat siapa yang berlari di samping mereka. Buruh-buruh yang bertugas untuk memetiki daun pun telah datang dengan truk beberapa saat yang lalu, membuat penuh suasana, dan kini panik untuk kembali naik ke truk agar bisa lari dari polisi. Tetapi asrama 3V telah penuh oleh gebrekan polisi. Suara helikopter dan corongan lampu terangnya membuat suasana lebih memusingkan.

"Uhuk! Uhuk!" Cita terbatuk-batuk karena bau asap yang mulai masuk ke gudangnya. Yang ia tak tahu, ia terkunci di salah deretan gudang tempat menyimpan daun coca sebelum dibawa ke pelabuhan. Cita panik dan mulai menggebuk-gebuk pintu gudangnya, "TOLONG! TOLONGGGG! TOLONGGG!"

Akhirnya ketiga remaja laki-laki sampai ke daerah gudang yang sudah penuh dengan api dan asap. "CITAAA! CITAAA!" teriak mereka bertiga. Mata Kato dan CP penuh dengan pandangan takut. "GUBRAAAKK!" tiba-tiba gudang di sebelah mereka mulai runtuh. Sayup-sayup terdengar suara ketukan beritme dan teriakan minta tolong. "Cita!" serempak ketiga sahabat itu mengucap. Mereka berlari ke arah suara. Gudang itu telah tercium bau minyak tanah, tetapi belum mulai tersambar api yang telah melalap gudang di sebelahnya. Masih ada waktu. Gembok besar mengunci palang kayu pintunya. Dengan potongan kayu bekas gudang yang terbakar, Kato mengayunkannya ke arah gembok. Gerakannya sekuat tenaga dan dibakar oleh rasa takut dan asa yang hampir putus. Setelah mencoba berkali-kali, gembok itu patah terbuka juga, dan pintu pun didorong terbuka. "CITA!" Cita berlari keluar, dan melihat sosok tiga laki-laki di hadapannya. Muka Cita basah bercampur peluh dan air mata. Ia berlari ke arah CP dengan kaki pincang dan memeluknya. Untuk beberapa lama Kato tercenung, dan berbisik ke dirinya sendiri, "...dan Cita pun memilih."

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang