“Tuh kamar mandi, Cit. Lo ganti baju disana ya?” seru CP yang melaju paling depan.
“Ngapain ganti baju?” tanya Yayank.
“Dia mau ke suster di Puskesmas hari ini,” jawab Aziz.
“Emang dia sakit?” lanjut Yayank.
“Nggak, gue disuruh belajar edukasi seks sama CP,” sahut Cita dari belakang Yayank.
“Huh?” Yayank bingung.
“Buat apaan?” tanya Yayank lagi.
“Jadi elo yang mau ngejelasin ama dia tentang itu? Gue aja gak yakin elo bener-bener tau selain dari foto-foto porno yang elo pelototin. Huu, pinter-pinter tapi gak berguna lo, Yank!” ejek CP.
Yayank mengulum senyum karena yang dikatakan CP ada benarnya.
Ketiga lelaki bersahabat pun menunggu di depan kamar mandi umum. Dalam hitungan menit, Cita telah selesai berganti baju. Dengan gaun sederhana berwarna putih di atas jeans yang sedari tadi ia pakai dan jaket untuk melindunginya dari angin dingin. Aziz tersenyum melihat Cita dan berkata, “Hmm..gak nyangka bisa kelihatan cewek juga lo, Cit. Gue kira gue bakal ngeliat bencong kalo lo pake baju cewek.”
Untuk menutupi rasa jengahnya, Cita hanya menonjok pelan bahu Aziz.
“Yuk!” ajak CP segera. Beberapa blok dari situ, sampailah mereka ke puskesmas yang dimaksud. Cita masuk, dan ketiga sahabatnya menunggu di ruang tunggu. Cita keluar dirangkul suster yang bertugas. Ketika melihat ketiga sahabatnya, tiba-tiba pipinya merona merah. “Ooh, yang mana abangnya, Cita?” tanya suster itu bersahabat. “Saya, suster,” jawab CP lugas. “Hmm...ya udah, jaga baik-baik ya adeknya.” CP hanya tersenyum.
“Dibilangin apaan aja ama suster?” tanya Yayank.
“Gak tau ah!” jawab Cita sambil memasukkan kembali roller bladenya dengan cepat.
“Kok lo malu gitu sih, Cit?” tanya Aziz.
“Ya iyalah malu! Ternyata banyak banget yang gue gak tau! Dan elo, elo! Elo semua gak boleh mikir-mikir jorok tentang gue! Gue tonjok satu-satu!”
CP hanya mengulum senyum mendengarkan percakapan gak bermutu siang itu.
“Tenang Cit, cewek kayak elo itu cuma ada di mimpi buruk. Gue gak bakal mau pertama kali mimpi basah dan ceweknya itu elo,” Yayank menepuk-nepuk punggung Cita
“Sialan!”
Dan mereka kembali melaju untuk ke rumah Yayank menunggu bar XYZ membuka pintunya malam itu.
Pukul 6:30 tepat, mereka masuk ke bar XYZ. Seperti yang dahulu, mereka memilih tempat duduk di sudut dimana mereka bisa memperhatikan seluruh ruangan tanpa diketahui orang lain. Di hadapan mereka masing-masing telah tersaji minuman coklat hangat dengan banyak marshmallow di atasnya, hadiah pemilik bar yang mengenal Yayank sejak kecil. Untuk beberapa lama mereka hanya mendengarkan ibu Yayank yang menyanyi di atas panggung. Ketika jam menunjukkan jam 7 dan mereka mulai sibuk mempertanyakan hingga jam berapa mereka harus berada disana, tiba-tiba datanglah dua sosok laki-laki ditemani oleh dua orang anak laki-laki yang mereka kenal. Salah satu laki-laki dewasa itu, bersepatu orange. Tak sadar, Cita menggenggam erat-erat lengan Aziz yang duduk di sebelah kanannya. Minuman hangat yang tadi menghangatkan seluruh badannya sekejap hilang efeknya. Tangan Cita berubah menjadi dingin dan bibirnya menggigil.
CP yang sedari tadi tak pernah lekang memperhatikan Cita, sekejap pula menyurukkan kepala Yayank ke arah meja.
“Aduh! Kenapa sih lo, Pe’?” Yayank yang semenjak tadi memperhatikan perempuan mungil yang bekerja sebagai bartender terkejut.
“Shhh!” Aziz mendiamkan Yayank segera. “Lo gak liat tuh ada Harlan sama Dani disitu?”
“Oh iya... Ngapain mereka disitu? Ya ampun, sama cowok yang pake sepatu orange!” seru Yayank dengan suara tertahan.
Segenap Aziz dan Yayank mengalihkan pandangan mereka ke arah Cita yang tak sadar telah berurai air mata tanpa suara dengan bibir yang menggigil.
“Vit, kita pulang dulu aja yuk,” ajak Aziz pelan.
“Iya Vit...kita terusin nanti aja deh penyelidikannya, yah?” bujuk Yayank.
Cita tak menjawab apa-apa. Tapi setelah keempat lelaki itu memilih meja di sudut lain, mereka pun mengendap-endap pergi. Dengan baju laki-laki yang telah ia tukar kembali di rumah Yayank, tangannya digenggam erat oleh CP dan agak terseret dipapah Aziz. Di luar Cita didudukkan di atas goncengan sepeda CP walau kini kembali Yayank yang mengayuhnya. Karena Cita masih dalam keadaan lemas oleh shocknya, badannya diikat ke pinggang Yayank agar ia tak terjatuh. Roller blade dan tas pundaknya kini dibawa oleh Aziz. Ketiga sahabat itu tak sanggup berkata apa-apa ke Cita. Dengan secepat mungkin mereka meninggalkan bar XYZ dan mengayuh pulang, terlambat dari waktu gerbang ditutup. Bayangan hukuman apa tak lagi ada di pikiran mereka, karena mereka hanya ingin menaruh Cita di atas tempat tidur. Mereka belum pernah melihat Cita begitu rapuh. Lewat lubang di salah satu dinding sekeliling asrama yang mereka telah temukan sebelumnya, mereka menerobos masuk. Masih dengan papahan Aziz, Cita terseret-seret menaiki tangga ke asrama dan direbahkan ke atas tempat tidur CP. Mereka tak ada yang sanggup lagi menaruh Cita di atas tempat tidurnya sendiri yang terletak di ranjang atas, jadi malam itu CP harus tukeran tempat tidur dengan Cita. Cita masih penuh uraian air mata dan tak bersuara ketika ketiga sahabatnya membukakan sepatu dan kaos kakinya dan menyelimuti Cita dengan selimut tebal.
Setelah ketiga sahabat itu mandi dan bersiap tidur, mereka menghampiri Cita dengan pelan. “Cit?” panggil CP pelan dan menyibakkan rambut pendek Cita yang membenamkan mukanya di bantal. Suara tangis itu benar-benar tak bersuara, tetapi pundak Cita yang kecil terguncang-guncang. Cita membalikkan badannya dan menyurukkan mukanya di pelukan CP. Tak lama, tangisan itu kemudian bersuara. Yayank dan Aziz kemudian ikut memeluk CP dan Cita. Suara tangis pedih Cita tak sadar memaksa Yayank untuk turut mengeluarkan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...