Menjelang jam 6 pagi sebelum matahari mulai terbit di pukul 6:30, Cita telah melangkah masuk kembali ke kamarnya. Ia mendapati sahabat-sahabatnya masih tertidur, kecuali CP yang berbaring di atas seprai tempat tidur baru dan buku bacaan.
Cita meloncat dan membaringkan badannya di sebelah CP, memaksa CP untuk menggeser badannya untuk memberikan tempat untuk Cita.
“Kenapa lo kayaknya seneng banget pagi-pagi?” tanya CP dengan lembut.
“Seneng banget? Biasa aja ah!” Tapi senyum tak mau meninggalkan muka sumringah Cita.
“Itu senyum mulu?” goda CP walau matanya tetap di buku yang ia tegakkan di perutnya.
“Pe’, nanti kita ke bar XYZ lagi yuk! Gue ada tambahan ingatan tadi malam di mimpi gue. Yang ngebunuh bokap gue pake sepatu oranye.” Cita sendiri gak tau kenapa ia memilih untuk gak bercerita ke CP tentang Kato yang ada di rumah pohon dini hari tadi.
“Oh ya? Ayo aja, abis kita bersih-bersih dulu.”
“Iya, abis bersih-bersih.”
“Cit, lo jangan suka main tiduran di samping cowok-cowok asrama lain kayak ke gue gini, yah?” CP beranjak dari posisi tidurnya dan duduk bersila sambil menunduk untuk menghindarkan kepalanya terjeduk kasur Yayank yang pulas di atasnya.
Cita pun tak sadar menirukan posisi CP dan bersila. Dengan kerutan alis di matanya Cita menatap CP, “Kenapa, Pe’?”
CP yang sudah mengenal Cita dengan baik beberapa bulan ini tak lagi kaget dengan level kepolosan Cita.
“Cit, lo kan cewek. Kita semua cowok. Lo tau gak sih ibu lo bisa hamil gara-gara apa?”
“Hmm...kalo binatang sih gue tau caranya gimana...eh, tunggu. Jadi menurut lo manusia juga...ngelakuin kayak gitu?”
CP tersenyum sabar. “Ya iyalah, Cita...ibu lo hamil juga karena itu.”
Otomatis Cita menyambar bantal CP dan memukulkannya ke kepala CP. “Pe! Lo jangan ngefitnah ibu gue gitu dong! Ih, masa sih?”
CP menahan bantal itu, menutup matanya, dan menarik nafas panjang.
“Pe’, elo serius?”
“Cita, kapan gue pernah ngebecandain lo tentang masalah-masalah kayak gini?”
“Ewwww! Terus, menurut lo Yayank ama Aziz tau gak kalo cewek ama cowok ngelakuin kayak gitu?”
“Hmm...menurut gue sih mereka tau. Tuh mereka mulai nyelundupin komik-komik yang gambarnya jorok-jorok.”
“Ewww!”
“Makanya, lo jangan suka tiba-tiba nidurin badan lo di samping cowok lain, yah?”
“Kalo gitu gue gak boleh ke elo juga dong, elo kan cowok?”
Untuk beberapa lama CP gak rela untuk mengiyakan Cita. Tapi ia tahu Cita benar.
“Iya, elo juga mestinya gak kayak gitu ke gue.”
“Hmm...oke. Sorry ya, Pe’. Seumur-umur gue gak pernah ada yang ngasih tau gue. Dan walaupun gue tau perkembang biakkan binatang karena gue tinggal di hutan, gue gak pernah tau kalo manusia gak jauh beda.” Tiba-tiba Cita melonjak dan memeluk CP erat. “Elo sahabat gue yang paliinggg baik.” CP tersenyum dan menepuk-nepuk punggung Cita.
“Pe’, elo lagi mau sakit yah? Kok akhir-akhir ini kayaknya suara lo suka tiba-tiba berat dan agak aneh sih?”
Untuk beberapa lama CP bingung apakah ia yang harus menempatkan dirinya untuk menerangkan tentang lika-liku perubahan anak laki-laki dan perempuan ke sosok polos ini? Memang selama ini potongan-potongan penjelasan itu harus ia yang menjelaskan. Ia masih begitu ingat muka pucat Yayank dan Aziz ketika Cita bercerita bahwa ia berdarah “di bawah sana” karena mereka semua yakin Cita sedang sakit parah. Lagi-lagi CP menarik nafas panjang.
“Ya ampun, segitu bingungnya elo ngejawab pertanyaan gue, Pe’.”
“Bukan bingung sih, Cit...tapi apa iya, gue yang harus ngasih tau masalah personal ini ke elo?”
“Abis kalo gak elo siapa lagi dong, Pe’?”
“Hmm...elo punya baju yang cewek dikit, gak?”
“Punya, kayaknya gue punya rok satu biji di lemari di rumah gue. Kenapa emangnya?”
“Oke, nanti pas kita turun ke kota, elo ganti baju di rumah Yayank, terus kita ke klinik umum dan gue bawa lo ke suster disana. Terus gue bakal bilangin ama dia kalo elo adek gue dan kita gak punya orang tua lagi dan gue minta ama dia untuk ngajarin lo tentang perkembangan remaja laki-laki dan perempuan sesingkat-singkatnya, oke?”
“Susah banget sih? Kan elo udah tau, cerita aja ama gue...” sungut Cita.
“Cita, lo tunggu aja deh cerita dari suster di klinik nanti. Elo bakal ngerti kenapa gue milih bukan jadi orang yang ngajarin elo tentang pertanyaan lo.”
Setelah seluruh murid 3V selesai bertugas membersihkan kampusnya dan tugas-tugas kafetaria, lapangan bola mulai riuh, perpustakaan sekolah kosong karena matahari yang bersinar cerah membuat murid-murid 3V tak ada yang betah di dalam ruangan. Empat sahabat telah mengenyangkan perut mereka masing-masing dan menyelundupkan beberapa makanan untuk snack ketika mereka mengayuh sepeda ke arah kota dengan Cita ber-rollerblade.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...