Keesokan paginya aku merasa jauh lebih baik. Kuterbangun melihat Yayank yang tertelungkup di sampingku. Aziz tertidur nyenyak dengan tangannya yang tergelantung ke bawah, dan CP yang mendengkur keras di atas tempat tidurnya. Semalaman itu mereka bergantian menjagaku dan menggantikan handuk di atas kepalaku. Mereka terlihat begitu lelah. Untung juga hari ini hari Sabtu, karena hari pertama datangku adalah hari Kamis sore. Sehingga hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar sama sekali. Hari Sabtu dijadikan waktu anak-anak 3V untuk mengembangkan hobi mereka masing-masing. Bel sarapan pagi pun tidak ada untuk hari ini, yang ada adalah waktu brunch (breakfast-lunch), dimulai pukul 11 siang nanti.
Perlahan aku turun dari bunk tempat tidurku dan melangkahi Yayank. Entah kenapa ia gak kembali ke kasurnya sendiri. Mencuci muka, dan kemudian membuka kemben yang mengelilingi dadaku untuk menyamarkan bagian yang mulai tidak rata itu lagi. Aku melihat sedikit kebiruan di tulang dekat payudaraku. Huh, payudara... gak pantas nama itu dipakai untuk menggambarkan sedikit jumputan di dadaku. Begini tokh jadi anak perempuan? Tumbuh payudara itu sakit? Baru tahu, aku. Selesai aku mematut diri sebentar dan menggosok gigi, aku kembali ke kamar. Pagi itu masih sepi. Karena kebiasaan bertahun-tahun tinggal bersama ayahku, aku bangun lebih pagi daripada suara ayam berkokok. Ketika kumasuki lagi kamarku, kulihat Yayank sudah duduk lagi di atas tempat tidurnya.
“Kayaknya lo masih utang cerita.”
“Makasih ya ngurusin gue tadi malam,” kataku pelan.
“Vito? Itu bukan nama beneran lo kan? Siapa nama lo?”
“Nama gue Cita.”
“Cita...” Ia mengulangkan nama itu kepada dirinya sendiri. Kemudian Yayank memperhatikanku dengan nanar. Aku sampai merasa salah tingkah sendiri, diperhatikan satu per satu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Gila, lo cowok banget! Kalo lo gak ngaku lo cewek, gue gak bakal pernah percaya,” lanjutnya. “Dan lo beneran bisa berburu?” tanyanya lagi, mengingat percakapan kami dari malam yang lewat.
“Iya,” jawabku menunduk.
Mendengar suara percakapan, Aziz dan CP pun terbangun dari tidurnya. Mereka semua melihatku dengan mata penuh tanda tanya. Setelah apa yang mereka lakukan semalaman untukku, rasanya menceritakan semuanya adalah bukan lagi keinginan, tapi kewajiban. Maka cerita tiga bulan yang lalu itu pun kubagi dengan sahabat-sahabat baruku.
“Gue mau nyari yang bunuh ayah gue, dan pak Besar mau mastiin gue terlindungi dari orang-orang yang waktu itu ngebunuh ayah gue, makanya gue diumpetin jadi anak cowok di asrama yang beliau pimpin,” tutup ceritaku.
“Hmm, kalo gitu gue janji bakal bantuin lo,” Yayank tiba-tiba memecahkan kesunyian dan tatapan nanar tiga anak laki-laki itu.
“Gue juga,” sambut CP. (Rizky belum tahu kalau namanya udah diubah dikepalaku)
“You can count me in,” senyum Aziz dengan lebar.
“Makasih, tapi gue gak perlu bantuan kalian,” senyumku mendengar janji mereka masing-masing.
“Hmm, Cit, kayaknya lo lupa kalo kita udah tau lo bukan cowok lagi. Gimana caranya lo mau ngebohongin anak-anak satu sekolahan dan guru-gurunya tanpa bantuan roommate lo? Udahlah, lupain aja gengsi. Gue juga mau bantuin lo biar gue gak mati kebosenan belajar di asrama ini. Pelajarannya terlalu gampang buat gue,” jawab Yayank lagi.
“Tapi yang gue cari bukan mainan, tapi pembunuh, Yank. Pembunuh yang jelas-jelas kalau tahu itu gue, gak ada ragu-ragunya bakal bunuh gue juga. Atau mungkin kalian kalau terlalu dekat-dekat dengan gue.”
“Ya iya makanya gue mau bantuin lo. Kalo nyari mainan sama aja ngeboseninnya kan ama belajar disini?” sahut Yayank dengan cuek.
Aziz mengangguk sambil mengutak-atik kotak berlobang yang dia pasangi senar yang baru saja datang lewat paket kiriman. Kayaknya dia mau bikin gitar tradisional, atau apalah namanya. Itu anak gak jauh-jauh kerjaan tangannya dari membuat alat-alat musik. Sementara CP tersenyum mendekatiku, mengucek-ucek rambutku dan berkata, “Udahlah Cit, nyerah aja. Apa enaknya sih gak ada temen?” Pertanyaannya seperti menusuk lubang hatiku yang paling dalam. Kupandang matanya yang sipit dibalik kacamata. Ah, mata itu hangat. Ia berjalan melewatiku, mengambil handuknya dan bersiap ke kamar mandi umum. Sekilas tercium wangi parfum bercampur dengan bau khasnya sebangun tidur. Aku sedikit terkesiap dan merinding. Ugh, perasaan apa lagi ini? Tanyaku pada diri sendiri. Andai aja ada wanita yang bisa memberi tahu arti naik-turunnya hormon yang bergejolak di masa remaja. Untuk beberapa saat ku rindu pada ibuku, perasaan yang sudah lama tak kurasakan karena aku masih amat kecil ketika ia pergi.
Ketika CP balik dari kamar mandi, aku sedang bersiap hendak ke bawah untuk mengunjungi rumah kecilku dulu. Semenjak kematian ayahku, aku belum pernah lagi kembali kesana. Tapi aku hendak mencari bila ada bukti yang ditinggalkan penjahat-penjahat. Mungkin aku gak akan menemukannya, karena polisi telah datang ke rumah itu setelah kejadian menyeramkan malam itu. Tapi aku harus tahu.
“Mau kemana, Vit?” tanyanya. Aku mengingatkan teman-teman sekamarku bahwa mereka gak boleh memanggilku Cita.
“Mau ke rumah gue dulu, Pe’.”
“Pe’? Nama gue Rizky.”
“Oh iya! Sorry! Hmm...diam-diam gue punya nama panggilan sendiri buat lo, CP. Cowok Pendiem.”
“Huahahahahaha! CP? Hmm..gak papalah, gue bolehin lo manggil gue itu,” jawab CP mengikuti langkahku ke arah tangga di hari yang masih gelap itu.
“Ya udah gue temenin lo”
Dan kami berjalan, ditemani lampu temaram di lorong asrama.
“Lo tau gak kehidupan gue dikelilingin cewek, Cit?”
“Cit? Vit! Vito! Lo jangan ampe lupa dong Pe’!”
CP tersenyum pelan. “Nggak, gue janji di depan orang lain gue nggak akan manggil lo Cita. Tapi karena ini cuma kita aja, gak papa kan?”
Aku hanya tersenyum menjawabnya.
“Eniwei, terus? Lo tadi bilang kalo kehidupan lo dikelilingin cewek.”
“Iya, gue punya adek cewek satu, dan kakak cewek satu. Kakak gue cuma setahun lebih tua dari gue, dan adek gue dua tahun di bawah gue. Kita deket banget dari kecil, selalu main bareng. Lo bilang lo kehilangan ibu lo dari kecil, ya kan? Lo tau gak sih kalau ada beberapa hal yang cewek pake dan cowok nggak?”
“Ih! Lo ngapain sih nanya kayak gini?” tanyaku risih.
“Ya abis kayaknya lo tuh clueless abis gimana caranya jadi cewek?” sahut CP dengan nada menggoda.
“Gini deh, gue gak tau gimana caranya lo bakal beli barang-barang itu, tapi nanti kalo gue pulang ke rumah, gue umpetin pakaian dalam kakak gue dan gue kasih ke elo, oke?”
Sumpah aku malu banget denger dia bilang gitu. Tapi pada saat yang bersamaan aku lega, karena sebelumnya aku gak pernah berpikir tentang itu. Sebenarnya aku bisa saja meminta bu Besar, tapi aku malu. Aku terharu juga, karena sosok ini, sosok tinggi kurus berkacamata ini, berpikir begitu panjang tentang aku yang mulai berubah menjadi wanita. Sedangkan aku yang mestinya lebih memikirkannya, menjalani hari dengan penuh ketidak tahuan.
Aku memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaannya yang tak membutuhkan jawaban itu dan menyalakan senter yang kubawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...