Chapter 3

2.8K 49 0
                                    

Setiap minggu, petugas yang bertanggung jawab di kafetaria dibagi berdasarkan grup kelas. Di 3V, setiap angkatan terdiri dari 3 kelas: Angkasa, Bumi, dan Cahaya. Setiap kelas rata-rata terdiri dari 32 orang. Misalnya minggu ini adalah tanggung jawab Angkasa, maka seluruh anak kelas satu sampai kelas tiga Angkasa, bekerja di kafetaria. Angkatan kelas 3 bertugas memasak untuk 298 orang, kelas 2 bertugas menyiapkan dan membersihkan ruangan, dan kelas 1 bertugas menyajikan makanan. Kemudian secara bergiliran sekitar 50 orang dari kelas 1, 2, dan 3 bertugas membersihkan kafetaria sesudah waktu makan selesai. Begitu pula dengan tugas membersihkan gedung, memotong rumput, dan kamar mandi. Ini semua adalah pekerjaan yang kami bagi rata dengan 298 siswa SMP 3V.

“Vit, temenin gue aja nih nge-serve bagian sayuran,” seru Aziz. Aku mengikuti langkahnya ke arah penyajian. Bagian penyajian juga bertanggung jawab untuk penghiasan dan memotong-motong bahan makanan. Aku pun mulai bekerja di sebelahnya dengan diam.

Aziz adalah teman yang menyenangkan. Sambil bekerja ia mulai bercerita bahwa ia adalah anak satu-satunya dari keluarga pengusaha. Ia senang bersekolah disini, karena untuk pertama kalinya ia tidak pernah merasa kesepian. Ayah ibunya selalu sibuk bekerja, tetapi sekarang ia selalu mempunyai teman. “Hobi gue main musik. Apaan aja, gue kemaren nyoba bikin gendang dari kulit kayu yang gue pukul-pukul agar melembut, tapi suaranya gak pas. Maunya sih pakai kulit binatang, tapi gue gak tau dapat kulit dari mana.”

“Nanti gue buru kelinci buat lo. Tapi mungkin lo perlu yang lebih besar. Hmm...sekarang belum musim untuk buru rusa. Yah tenang Jis, nanti gue pikirin,” tiba-tiba aku bersuara. Aku sendiri bingung bagaimana bisa aku menawarkan berburu untuk orang yang baru aku kenal ini, tapi Aziz terasa seperti teman jiwa. Seumur hidup aku hampir tak pernah mempunyai teman selain ayah. Dan seperti ia bilang, untuk pertama kalinya juga, aku pun tak lagi merasa kesepian.

“Serius lo, Vit? Lo bisa berburu?”

“Bisa. Gue punya perangkat memanah, gue umpetin sebelum gue masuk asrama. Nanti kita rencanain bareng-bareng. Tenang aja.”

“Asik! Nanti gue ajakin Yayank ama Rizky ya?”

“Ajak mereka? Gue gak suka ma Yayank.”

“Ah, Yayank cuma keliatan kasar di luarnya, kayak elo. Nanti kalo lo makin kenal juga pasti lo setuju ama gue.”

“Ya udah, ayo aja kalo gitu.”

Aku yang terampil dengan pisau memotong-motong bahan makanan dan sayuran dengan cepat. Bagaimana pun semenjak umur 6 tahun aku yang bertanggung jawab di dapur rumahku. 

Selesai waktu kami makan dan bekerja di kafetaria, kami berjalan berempat kembali ke kamar asrama. Kami punya waktu dua jam sebelum lampu kamar kami harus mati. Karena jadwal kelas kami yang padat, kebanyakan dari kami memakai waktu itu untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Sekolah baru mulai tiga minggu yang lalu, tapi tugas kami telah menumpuk. Aku perlu mengejar ketinggalan ketika aku belum mendatangi 3V. Ada untungnya yang memasukkanku kesini adalah kepala sekolah 3V, karena setidak-tidaknya aku sudah tahu tugas-tugas sekolah yang ketinggalan tanpa harus menunggu masuk kelas dahulu.

Di tengah jalan Aziz berbisik, “Lo jangan musuhan sama Yayank, dia yang paling pinter di angkatan kita. Dia pasti bisa bantuin ketinggalan lo, kalo dia mau.”

Aku tersenyum dan merangkul bahu Aziz, “Tenang Jis, gue gak ada niatan dikeluarin dari sekolah, jadi kalo perlu gue pasti baik-baikin si Yayank itu.”

“Ngomongin apaan aja sih lo berdua?” tanya Rizky tiba-tiba.

“Ky, lo mau ikutan berburu gak?” jawab Aziz tiba-tiba.

“Berburu?”

“Jis!” sikut aku ke perut Aziz, karena aku rasa waktu sekarang belum waktu yang tepat untuk memenuhi janjiku ke Aziz.

“Ayo! Ayo! Gue belum pernah berburu,” tanggap Rizky dengan semangat.

“Berburu? Emang kalian ada yang bisa berburu?” tanya Yayank.

“Vito bisa,” jawab Aziz.

“Ah, itu cuma sesuatu yang bokap ama gue suka lakuin dulu,” kataku.

“Bokap lo masih suka berburu ampe sekarang, Vit?” tanya Rizky.

“Hmm..bokap gue udah meninggal.”

“Oh, sorry...” Rizky berkata pelan dengan rasa tidak enak.

“Gak papa, Ky. Gak ada yang bisa dilakuin sekarang,” tepukku di bahu Rizky.

“Semua juga tau kalo waktunya berburu rusa masih dua bulan lagi!” cetus Yayank.
“Oh ya?” tanya Aziz.

“Iya, Jis. Masih bulan November, jadi gendang lo masih lama baru bisa lo buat,” jawabku.

“Hmm...” Aziz terlihat kecewa.

“It’s okay! Nanti kalau kita dapet rusa yang besar, kita bikin daging jerky terus kita jual ke orang-orang,” aku mencoba mencairkan suasana.

Kami berjalan seperti itu, bercanda tentang hal-hal kecil, hingga sampai ke asrama. Aku menunggu hingga orang terakhir selesai memakai kamar mandi sebelum aku sendiri mempersiapkan diri untuk tidur. Beberapa tugas sekolahku telah selesai, dengan bantuan Rizky dan Aziz.

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang