“Ini Vito Khailan, dia anak baru, tolong bantu dia di tahun awal ajaran ini,” kata pak Anton ke murid-murid 3 Angkasa. Aku bersyukur ia tidak menyinggung sama sekali apa yang diberita tahu pak Besar ketika aku dipertemukan ke guru-guru sekolahku sebelumnya, bahwa aku adalah keponakan beliau yang pindah dari lain pulau. Setidak-tidaknya untuk beberapa lama aku dapat menghindari dijadikan “target” percobaan oleh teman-teman. Bukankah selalu begitu? Untuk mempertanyakan pihak otoritas dan tak mampu, maka lampiaskanlah segala keinginan untuk membangkang itu ke pihak lemah yang berhubungan dengan otoritas.
Aku menatap dingin kepala-kepala teman sekelasku. Sungguh sejak kecil aku hanya punya satu orang teman, dan ia pun tak bisa terlalu kuanggap teman. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya dari pak Besar. Ia pun anak murid dari 3V ini, dua tahun di atasku, jadi dia sekarang duduk di kelas 3 SMP. Pak Besar sudah mewanti-wanti Kato, begitu namanya, untuk tidak memberi tahu satu sosok pun di sekolah itu mengenai identitasku sebenarnya. Kami tak pernah terlalu dekat, karena jika aku menginap dan menghabiskan beberapa waktu libur di rumahnya, ibunya yang selalu menemaniku. Tapi selalu ada moment-moment kami tertawa terbahak bersama, atau aku dan pak Besar sekeluarga bersama-sama bermain kartu, monopoli, dan permainan lainnya. Sebenarnya sudah lama, entah dari kapan, aku suka dengannya. Tapi aku tahu diri, pak Besar sekeluarga sudah begitu baik kepadaku sekeluarga, semua karena rasa iba. Aku tak perlu rasa iba. Aku hanya perlu mengumpulkan semua rasa sakit ini dan mengubahnya menjadi bahan bakar membalas kematian ayahku.
Dari arah belakang tiba-tiba terdengar suara khas Aziz, “Vit! Sini!” sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Aku mendongak ke arahnya.
“Ah, kalian sudah saling kenal sebelumnya ya, di asrama? Silahkan Vito, mau duduk disitu?”
“Iya, pak,” sambil ku melangkah ke arah Aziz.
“Makasih, Jis,” senyumku. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang selalu mampu membuat beban kebencian ini terasa begitu ringan. Sedingin apa pun mukaku, Aziz seperti selalu menyiramkan kehangatan persahabatan. Inikah rasanya mempunyai teman? Kalau iya, betapa telah terlalu lama waktu kehidupan ini berlalu tanpa merasakannya. Tetapi yang kurasakan hanya rasa beruntung, karena sebelum aku mati aku bisa berkata, “aku pernah mempunyai teman.”
Seharian itu aku berusaha keras mengerti subyek-subyek pelajaran yang rasanya seperti tembakan beruntun yang diarahkan ke dadaku. Ketika waktu istirahat berbunyi, aku bersegera keluar karena rasanya kepalaku akan pecah. Sementara pertanyaan-pertanyaan dari guru dijawab Yayank dengan mudah. Di kelas ia memang terlihat seperti ada di habitat kehidupannya sendiri. Ia terlihat, hmm...bahagia.
Aku berlari keluar ke arah lapangan sepak bola, karena pusing di kepalaku hanya bisa diobati oleh aktivitas fisik yang ekstrim. Begitu selalu. Satu tim dengan Rizky, aku bergerak cepat sebagai striker. Badanku yang kecil dan kakiku yang panjang lincah menari ditengah-tengah anak-anak laki-laki remaja seumuranku ini. Tiba-tiba, bruk! Untuk merebut bola di kakiku, seorang anak dari kelas Bumi menyikut dadaku. Aku anak perempuan yang baru beranjak remaja, di umur 13 tahun, dan tumbuh tanpa ibu. Perubahan-perubahan di tubuhku adalah sesuatu yang merupakan misteri untukku. Aku terlonjak ke belakang karena kesakitan yang demikian rupa sehingga tak sengaja air mata di mataku keluar begitu saja tanpa ada perlawanan. Untuk sementara aku terduduk di lapangan dan mencengkeram tubuhku erat-erat. Aku tak mengerti kenapa akhir-akhir ini bagian dadaku sakit sekali. Memang kulihat bagian yang dulu selalu rata itu lebih menggembung dari biasanya. Yang aku tak tahu, betapa sensitifnya daerah itu, dan aku tak mengerti kenapa. Rizky berlari cepat ke arahku dengan muka panik, “Vit! Kenapa lo? Sakit banget? Kan dia gak keras ngedorong lo?” Aku meringis menatap ke arahnya dengan mata yang masih bergenang air mata. “Ah elo Vit! Gak nyangka gue elo cengeng juga,” sambut Aziz yang menyoraki dari pinggir mendekati kami berdua.
“Mau ke klinik dulu gak?” Tawar Rizky setelah ia membantuku berdiri bersama Aziz.
“Nggak,” jawabku agak terlalu cepat. Hanya guru-guru yang langsung berhubungan denganku tahu bahwa aku bukan anak laki-laki. Ah, mungkin aku seharusnya gak dengan cueknya main bola dengan anak-anak laki-laki.
“Kenapa nggak? Elo ampe meringis begitu?” tanya Aziz lagi.
“Nggak, gue gak gak papa. Gue cuman kaget aja, jadinya air mata gue ampe keluar,” jawabku masih sambil memeluk dadaku erat-erat.
“Ngapain lagi lo? Kayak cewek aja takut dipegang dadanya,” canda Rizky sambil mendorong pelan bahuku.
Ugh, aku terdiam dan perlahan melepas tanganku yang sedari tadi mencengkeram payudaraku erat-erat karena denyutan yang hebat. Sial! Masa baru hari kedua sekolah udah ketahuan bahwa aku anak perempuan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...