Hari Jumat tengah malam, kami sudah mengendap-endap hendak ke hutan. Untuk membohongi guru ketika role-call pagi ini, kami sudah meminta untuk beberapa teman kami berpura-pura menjawab dengan suara mereka. Agak sulit memang, tetapi karena role-call dipanggil secara acak, dalam arti tidak semua murid dipanggil, kami berharap kami cukup beruntung hari itu. Kalau untukku, kerinduan untuk berlari di tengah dinginnya angin musim gugur, mencium bau tanah basah dimandikan embun, melihat lagi tarian jamur di bawah pohon, dan mendengar ramainya suara binatang di pagi hari telah membakar semangatku dan membuatku lupa akan resiko yang kami ambil.
“Gimana rasa lo pagi ini?” tanya Rizky kepadaku ketika kami sedang bersiap di rumah bekasku dan ayah.
“Hmm, sehat-sehat aja sih gue sekarang, hehehe...” jawabku.
“Lo, hmm, bener lo gak papa?”
“Lo mau nanya apaan sih, Pe’? Bilang ajalah...udah tau gue gak ngerti kalo disuruh nebak-nebak.”
“Ah udahlah, yang penting bagus elo gak papa,” jawabnya sambil mengacak rambutku.
Aku pun memasangkan kamuflase ke muka sahabat-sahabatku. Beberapa waktu yang lalu, Rizky dan Aziz telah membeli anak panah dan busur lewat orderan di majalah, sementara selama sebulan, Yayank dan dibantu Aziz membuat busur sendiri di kelas keterampilan. Kami tak tahu busur itu akan bekerja baik atau tidak, tapi ku membantu sebisaku, lewat ingatan bagaimana ayahku dulu membuat busurku.
Teman-teman sekelas dan satu angkatanku telah memesan daging rusa kepada kami. Kami berniat untuk mengeringkan daging itu di rumah ayah secara sembunyi-sembunyi kemudian menjualnya ke satu sekolah kami. Mungkin lewat beberapa teman Aziz selama musisi, kami bahkan bisa menjual beberapa daging kering (jerky) ke anak SMA.
Dan perburuan pun dimulai...
Setelah kami berjalan sekitar satu jam, kami melihat anak rusa berjalan tak terlalu jauh dari tempat kami mengintai. Kami bergerak mendekatkan diri. Semenjak beberapa saat yang lalu Aziz udah complaint karena pegal-pegal dan digigiti serangga. Aku memandangnya dengan pandangan persis sama ketika ku masuki kamar kami beberapa bulan yang lalu. Pandangan yang mampu membuat dia diam tanpa lanjutan.
Aku mulai berdiri tak bersuara dan menarik busur panah perlahan, amat perlahan. Ketika tiba-tiba *srupppp....jreb* dan anak rusa itu terkapar mati. Terkejut dan ada rasa marah ku berpaling ke arah datangnya panah. Kulihat ada tiga sosok berlari kesenangan, tak menyadari keberadaan kami.
“Wah To, hebat banget! Satu kali lepas aja! Sumpah, keren banget!” seru satu suara dari sosok yang gak ku kenal. Diikuti dua sosok anak laki-laki yang berjalan tenang. Walaupu berkamuflase, satu di antara yang berjalan itu adalah sosok yang amat kukenal. Tentu aja, Kato.
“To! Itu sasaran gue duluan!” seruku tak tertahan. Entah kenapa aku begitu marah, padahal biasanya aku tak terlalu peduli dengan hal seperti itu, masih begitu banyak rusa yang bisa diburu. Mungkin karena kejadian Kato seperti pura-pura tak mengenaliku sama sekali di kafetaria masih terpatri di ingatanku.
Yayank tiba-tiba membungkam mulutku dari belakang. “Shhh! Kita nanti ketauan!” Aku berontak dan membalas “Bodoin amat! Dia juga ngelanggar peraturan sekolah!” Mendengar keributan mulut di tengah suara-suara binatang di pagi hari pasti terdengar berbeda. Kato dan kedua temannya berbalik ke arah suara sebelum mereka mulai menguliti buruan.
“Cita?”
“Siapa?” tanya teman-temannya.
“Vito! Maksud gue Vito.” Kato tergagap mencoba membetulkan kesalahannya menyebutkan nama asliku di hadapan teman-temannya.
Temannya yang hitam manis dan tinggi melebihi Kato memukul kepala Kato dari belakang dan berkata, “Lo pasti kepikiran cewek yang kita kenalan minggu lalu deh. Anak cowok adek kelas lo ampe dipanggil nama cewek.”
Aku masih gusar dan menjawab sambil melangkah lebar-lebar ke arahnya. “Itu sasaran gue duluan, kok lo yang rebut?”
Kato tersenyum sabar menatapku, “Siapa yang rebut, Vito? Gue mana tau lo udah jadiin anak rusa itu sasaran lo duluan. Kita kan ngebidiknya dari arah yang sama, gue gak ngeliat elo.”
Aku jadi merasa kikuk karena dia menatapku dengan mata yang...hmm, mata baik yang selalu ku kenal kalau ku hanya bermain dengan dia dari kecil. Heran! Dia kan mestinya nyebelin kayak kemaren! Kan lebih mudah marah ama orang nyebelin!
Yayank menyelamatkanku dengan merangkul bahuku dan menjawab Kato, “Iya, kak. Kakak bener. Vit, Kak Kato pasti gak sengajalah memanah duluan ke rusa yang lo pilih. Ngapain sih lo ribut-ribut, bikin rusa yang lain jadi lari aja.” CP tersenyum-senyum memandang kami dari tempat kami mengintai tadi. Aziz terpincang-pincang karena kakinya kebas harus diam di tempat yang sama untuk terlalu lama. Dengan gusar ku berbalik ke belakang. Yayank tersenyum dengan sinar mata meminta maaf ke arah Kato dan teman-temannya.
Kato kemudian bertanya ke arah Yayank, “Bagian apa yang kalian kejar sampe bela-belain berburu?”
Yayank menjawab, “Kulitnya, kak. Mau dijadiin genderang sama Aziz, tuh yang gendut.”
“Oh gue tau, Aziz. Yang jago musik ya? Hmm, ya udah kalo gitu. Kalo lo pada mau ngulitin bareng-bareng, daging ama selebihnya buat kita. Mau?”
Yayank tersenyum lebar tanda setuju. Aku sudah kehilangan semangat berburu dan hanya bersungut-sungut kembali ke arah tempat CP. Aziz nyengir kegirangan karena dia sudah pasti akan mendapatkan kulit yang dia impi-impikan.
Bersama-sama kami kembali ke arah kampus, dan Kato bertanya kepada Yayank, “Nama lo sama temen lo yang pake kacamata siapa?”
“Nama saya Heri, kak. Dipanggilnya Yayank. Yang pake kacamata Rizky, tapi sama kita berempat suka dipanggil CP.”
“Oh, nama gue Kato. Yang tinggi item itu namanya Harlan, yang kecil badannya itu namanya Dani.”
“Lo tau tempat kita bisa menguliti binatang tanpa ketahuan?” Sementara rusa yang besarnya sedang itu terayun-ayun diikat di kayu yang dibawa berbarengan oleh Aziz dan Harlan.
Yayank menatapku dengan tatapan tanda tanya. Aku tak ingin membagi rumahku dengan Kato. Maka aku memutuskan untuk membawa mereka ke arah rumah panggung tempat ayahku dan aku beristirahat ketika kami berburu sambil menginap di hutan.
Dani yang berjalan tak pernah jauh dari Harlan terlihat membisikkan sesuatu ke telinganya. Aku yang masih berjalan dengan langkah-langkah marah tak pernah sekali pun memperhatikan mereka, aku berjalan dengan cepat sebagai penunjuk jalan, hampir tak peduli dengan Aziz yang terlihat kelelahan dan kesulitan mengejar kecepatan langkahku. Sementara dalam diam Rizky memperhatikan dengan curiga ke arah Harlan dan Dani. Yang ia tangkap hanya sebagian kata-kata, “Mereka yang aku lihat...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...