“Lo tau gak kira-kira bar XYZ ada dimana?” tanya Aziz.
“Hmm, gue gak tinggal daerah sini, ini aja baru kali kedua gue ke kota,” jawab Rizky.
“Gue juga gak dari sini,” kata Aziz. “Eh tapi elo kan seumur idup tinggal daerah ini, Vit. Lo masa gak tau?”
“Hmm...gue gak pernah dibawa ayah gue kesini. Kalo seluk beluk hutan Chesne, gue tau.”
“Ah lo pada payah semua! Gue tau, ikutin aja gue.”
Aziz menggaruk-garuk kepalanya yang gak gatal, karena selama dua minggu mereka tinggal bareng, Yayank gak pernah mau ikut turun ke kota Lian bersamanya dan Rizky. Bahkan sebelum kedatangan Cita, mereka hampir tak pernah tahu apa pun tentang Yayank yang menjaga segala informasi pribadinya.
Mereka pun beriringan mengikuti Yayank yang bersepeda di depan. Vito yang selama hidupnya berkisar antara hutan Chesne dan halaman luas pak Besar, terkagum-kagum atas keramaian kota Lian.
Kota Lian tak termasuk kota yang terlalu besar. Ia terasa hangat dengan toko-toko kecilnya di sepanjang jalan, dan orang-orang yang berlalu lalang menyapa satu sama lain. Saat itu waktu makan siang, banyak orang-orang yang keluar masuk restoran sekeluarga, berpasang-pasangan, atau bergerombolan dengan teman. Jalan-jalannya tak terlalu besar, hanya bisa dilewati dua mobil berpapasan, ditambah satu barisan mobil parkir satu arah saja. Cita telah mencopot sepasang roller bladenya dan menggantungkannya di kursi goncengan Rizky. Ia kini berjalan dengan sendal jepitnya yang tadi ia jepitkan disana. Setelah berbelok-belok mengikuti Yayank, kini mereka melewati jalan yang sepanjangnya adalah bar-bar kecil yang belum buka, karena mereka hanya buka mulai di sore hari.
“Tuh dia!” tunjuk Yayank ke pertengahan jalan yang bernama jalan Roberto Coelho, penulis terkenal yang datang dari kota Lian. Bar XYZ tak terlihat jauh berbeda dengan urutan bar-bar disana. Mereka mendekati bar tersebut dan memandangnya dari bagian depannya. Sama sekali belum terliat ada kegiatan sekarang.
“Mau ngapain nih sekarang?” tanya Rizky. “Belum buka, mau tunggu ampe sore apa gimana?”
“Hmm, mau tunggu dimana ya?” cetus Cita. Pertanyaan untuk dirinya sekaligus sahabat-sahabatnya.
“Tapi sampai kapan kita mau nunggunya? Kan kita udah harus balik sebelum jam 7?” tanya Aziz.
“Bar buka jam 6 sore, kita masih punya waktu sebelum gerbang ditutup dan kita terkunci di luar. Sebelum itu kita bisa makan di rumahku, ayo.” Yayank dengan tenang menggiring sepedanya ke arah gang beberapa pintu bar dari situ. Ia kemudian membuka pintu dan terlihat tangga ke bawah tanah. Ternyata di bagian bawah bar-bar adalah apartemen-apartemen kecil yang kumuh.
Untuk beberapa saat tiga sahabat yang lain hanya termangu mengikuti Yayank dan tak berkata apa-apa. Sebagian besar dari murid 3V memang anak-anak orang kaya, tetapi ada beberapa persen dari mereka adalah anak-anak yang mendapatkan beasiswa penuh dari sekolah. Yayank tidak pernah sekali pun memberi tahu bahwa ia salah satu dari anak-anak beasiswa tersebut.
Yayank kemudian membuka salah satu dari dua pintu di bawah.
“Hallo, ada orang di rumah gak?”
“Waah, bang Yayank! Ibuu, ada abang!”
Yayank masuk dan mengusap kepala adik lelakinya. Adik Yayank ada dua, keduanya laki-laki. Yang menyambutnya tadi adalah adik bungsunya yang berusia 8 tahun, adik satunya lagi, sekitar 10 tahun, hanya menatap tersenyum dari luar kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
PertualanganCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...