Selesai kami membersihkan kamar, kamar mandi, aku mengantarkan teh daun kemangi itu ke kamar Angga. Angga masih terkapar lemas di atas tempat tidurnya. Kami berempat telah berencana untuk turun ke arah kota untuk mencari lokasi bar XYZ hari itu.
Sementara itu...
“Harlan, Harlan! Ada yang ngudek-ngudek tempat pertumbuhan kita yang baru!”
“Ngomong apaan sih lo pagi-pagi?”
“Tadi aku pergi ke rumah kaca, seperti yang abang suruh setiap pagi, tapi sebelum aku masuk, ada anak-anak kelas satu yang sudah ada disitu. Sepertinya mereka sedang mencari-cari sesuatu, tapi gak jelas apa?”
“Hmm, gitu?”
“Iya bang!”
“Sekarang cari tahu siapa anak-anak kelas satu itu, mungkin mereka gak tau apa-apa tentang bisnis kita, tapi kita harus tau mereka.”
“Siap bang Harlan.”
Ketika itu, Kato masuk ke kamar yang ia bagi dengan Harlan.
“Eh ada elo, Dan?”
“Pagi, To.”
“Ngapain kesini pagi-pagi, Dan?”
“Nggak, ada yang mau diomongin aja ama bang Harlan. Udah selese sekarang. Gue pamit ya, yuk To, yuk Bang.”
Kato tersenyum membalas Dani, dan Harlan hanya menjentikkan tangannya dari dahinya.
“Heran gue ama Dani, kenapa dia manggil lo “bang” sih Lan?” tanya Kato setelah Dani pergi menutup pintu di belakangnya.
“Aah, cuma hormat aja dia ma gue. Gue kan pantes dihormatin.”
“Hahahahaha! Nenek lo pantes dihormantin, bukan elo!” Kato melempar bantal ke kepala Harlan.
Kato dan Harlan sudah tiga tahun berbagi kamar di asrama. Tepatnya sejak kelas satu SMP. Dulu mereka bertiga, tetapi di pertengahan kelas 2 SMP, teman mereka, Titan, meninggal karena tertabrak mobil ketika ia naik sepeda. Titan dan Harlan adalah sahabat kental, mereka telah mengenal satu sama lain semenjak mereka SD. Semenjak meninggalnya Titan, ada perubahan besar dengan Harlan. Ia sepertinya kehilangan pegangan dan mulai sering diam-diam pergi ke kota dan mengunjungi bar-bar setempat. Karena badannya yang tinggi, ia tak terlihat seperti anak SMP.
Setelah kejadian menyedihkan itu terjadi, Kato pun memohon kepada ayahnya agar mereka tak menerima teman sekamar baru. Terlalu sedih, katanya. Kato adalah anak populer di sekolah. Ia pandai, ramah, dan untuk tiga tahun terakhir adalah juara umum pemanah. Perlombaan memanah itu selalu dilombakan di tempat umum dan mengadu beratus-ratus peserta termasuk dari asrama-asrama lain yang berada di propinsi Cane.
Kato mempunyai pacar di asrama perempuan yang tak terlalu jauh jaraknya dari Asrama 3V. Tepatnya, pacar, bekas pacar, dan pacar di masa depan yang dekat. Di bukit Lian ada dua asrama, asrama laki-laki dan asrama perempuan. Asrama perempuan itu dinamakan Asrama Teratai. Seperti 3V, Teratai pun asrama dari SMP sehingga selesai SMA.
“Lo ngomongin bisnis lo lagi, Lan?”
“Huh? Iya...” dan Harlan pun ngeloyor pergi meninggalkan Kato yang tak pernah tahu sahabat sekamarnya itu mengerjakan apa selama setahun terakhir ini.
Ke Kota Lian...
“Ah seru juga nih naik sepeda kayak gini lagi!” seru Rizky yang asik naik sepeda perlahan. Perlahan karena di belakangnya, Cita berpegangan di bagian kursi penumpang sambil memakai roller blade meluncur. Sementara itu Aziz dan Yayank telah meluncur di turunan bukit dari asrama 3V dengan kencang.
“Wooyyy! Jis! Yank! Tungguin dong!!!” teriak Cita dari belakang Rizky.
Tak lama mereka pun akhirnya dapat mengejar ketinggalan dari Aziz dan Yayank. Hari Minggu yang amat menyenangkan, udara di awal perubahan ke musim gugur mulai dingin, dan melegakan karena tugas-tugas sekolah mereka di awal semester ini belum terlalu berat. Lagi pula dengan pertolongan Yayank, rasanya mudah saja mengerti pelajaran-pelajaran yang tadinya terasa beban tak terangkat untuk Cita.
“Vit, nanti abis kita nyari bar XYZ itu kita mampir ke toko Caritas ya?”
“Caritas? Itu kan toko accesory cewek, Jis?” tanya Rizky.
“Iyaa!”
“Ngapain kita kesana?” sahut Yayank bingung.
“Ya kalau mau ngecengin cewek harus ke tempat yang banyak ceweknya doongg” seru Aziz.
“Huuu! Mana mau cewek normal ama elo, Jis!” ejek Yayank.
“Wuah, masih mending ama Aziz daripada ama elo, Yank!” cela Cita.
“Tuh kaannn cewek beneran aja ngakuin,” kata Aziz.
“Ah! Dia mah cewek gak normal!” canda Yayank lagi.
Dan begitulah sahabat ber-4 itu melewatkan perjalanan 5 kilometer dari bukit Chesne ke arah kota, memulai menapak mencari bukti yang tak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...