Chapter 17

1.9K 30 0
                                    

Hari Minggu aku bangun dini hari, seperti biasanya. Dan seperti biasanya pula, aku bangun dengan keringat dingin, karena mimpi buruk yang sama. Suara rintihan ayahku yang diikuti dengan diam. Setiap mimpi itu aku selalu berusaha merekam detailnya di jurnalku. Apakah ada fakta baru yang aku ingat? Dan mimpi kali itu, aku teringat sepatu salah seorang pembunuh ayah. Sepatu lari yang berwarna oranye. Bukan sesuatu yang besar, tapi ingatan ini adalah baru untukku.

Setelah mengatur nafas untuk beberapa saat, aku ke kamar mandi untuk mandi dan sikat gigi. Pagi itu aku hendak melihat kemajuan pengeringan kulit rusa kami dan mampir ke rumah lama untuk hanya duduk dan melepaskan kerinduanku atas ayahku. Rasanya kejadian kemarin membuat hati ini begitu rindu dipeluk dada bidang ayah. Telah berapa lamakah berlalu? Rasanya kejadian kehilangan ayah telah bertahun lewat...dan perpapasan kemarin dengan Kato membuatku juga rindu kepadanya. Walau entah sebagai apa.

Setelah selesai memakai kamar mandi, perlahan aku duduk di sebelah CP dan menggoyang pundaknya untuk memberi tahu niatku pagi itu. “Pe, CP! Bangun! Pe’! Gue mau pergi ke hutan sebentar ama ke rumah, ya? Pe’! Bangun doongg!” guncangku berbisik. Di tengah usahaku membangunkannya, kuperhatikan CP dengan seksama. Tiba-tiba...”Pe! Pe lo kok ngompol sih? Celana lo basah tuh! Iiiihhh...geli deh lo tuh, masa udah 13 tahun ngompol? Pe!!!” Dengan cepat CP terbangun dari tidurnya yang malas. “Apaan? Apaan?”

“Lo ngompol!”

“Enak aja lo nuduh!”

“Lah itu celana lo?”

“Hah?! Nggak ah, gak mungkin!”

“Ya gue gak tau tuh yang pasti celana lo basah. Gue ke hutan dulu ya ngeliat kulit, ama ke rumah bentar. Nanti gue balik sebelum role-call, oke?” tepukku di punggung CP dengan cuek.

Hidup dengan ketiga laki-laki ini sungguh telah meyakinkanku bahwa yang berbeda denganku adalah payudara yang mulai tumbuh ini dan darah yang kata CP bakal datang hampir setiap bulan seumur hidupku. Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa aku harus menyempatkan ke rumah bu Besar untuk menanyakan lebih detail mengenai darah yang kata CP namanya haid. Lain dari itu, aku tak tahu apa yang membedakanku dengan mereka. Aku belum tahu bahwa alam masing-masing telah membentuk hormon dan ketertarikan di antara dua jenis kelamin yang berbeda. Aku tak sadar bahwa tubuhku yang mulai berubah bisa membuat lelaki berdesir. Dan juga kebalikannya. CP yang tidur dengan celana pendek memperlihatkan bulu-bulu kakinya yang mulai kasar terlihat sekilas olehku dan untuk sesaat aku bingung kenapa bulu-bulu tangan halusku berdiri.

Setelah Cita meninggalkan kamar, CP berdiri dengan cepat melihat celananya sendiri. “Ah!” teriaknya dalam hati. “Untung aja Cita orang paling polos di dunia! Gile, malu banget gue! Ini tokh namanya mimpi basah? Fyuhhh...untung aja Papa udah ngasih tau sebelum aku masuk asrama...”

Dengan tak ada rasa takut Cita melangkah meninggalkan lahan asrama menuju ke hutan. Setelah agak jauh memasuki hutan, Cita mulai bernyanyi sendirian sambil menyalakan obor yang ia ambil dari gudang ayahnya. Bukan untuk menenangkan rasa takut, tapi untuk menakut-nakuti hewan buas yang masih ada agak jauh di dalam hutan. Setelah berjalan sekitar 45 menit, ia mendapati rumah di atas pohonnya. Cita agak curiga, karena tangga talinya yang biasanya terikat ke samping dahan, kini terjulur jatuh ke bawah. Perlahan dengan pisau kecil yang ia bawa masuk ke asrama di gigi, ia panjat tangga tali itu.

Sampai di teras kecil rumah pohon itu, ia buka perlahan pintu rumah itu. “Hoaaa!” kedua sosok berteriak dan terlonjak kaget melihat sosok masing-masing.

“To? Ngapain lo disini?” tanya Cita heran setelah teriakan masing-masing mereda.

“Ya ampun, Cit! Elo bikin suara dikit kek kalo mau masuk!”

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang