Sesampainya di rumah panggung, kulihat bagaimana waktu dan perubahan cuaca telah memakan tempat yang kucintai. Untuk sesaat kutertegun memandangnya. Rumah panggung itu berada di atas pohon, sekitar tiga meter dari atas tanah. Tidak berkaca, hanya kayu-kayu. Untuk naik ke atas, hanya tali bersimpul-simpul yang harus dipanjat. Kini rumah itu tertutup debu yang tebal, dan dihuni oleh banyak kaum arachnoid. Burung pun terlihat telah banyak mempergunakan bahan yang kami pakai untuk atap kami. Kalau aku dan ayah hendak menyetok daging rusa untuk dijual ke kota oleh ayah, kami tinggal di rumah panggung itu untuk beberapa lama. Disitu ada set pisau yang selalu terawat rapi oleh ayah.
Tanpa berkata apa-apa, begitu Harlan dan Aziz melepaskan beban mereka, aku pun memanjat tali untuk mengambil set pisau itu. Dalam diam, kukuliti kulit rusa muda dengan sempurna. Tak banyak pertolongan yang kuminta. Tiba-tiba aku hanya merasa lelah. Lelah dengan segala kepura-puraan yang kulakukan, lelah dengan kepura-puraan yang Kato jalankan dengan sempurna. Lelah dengan semuanya. Tapi aku masih hanya diam. Sekelompok laki-laki itu telah duduk berjarak dariku, membangun api unggun kecil dan mulai memakan sarapan yang mereka masing-masing telah persiapkan dari tadi malam. Mereka mulai berbicara tentang bermacam-macam, mulai terdengar tawa akrab yang melewati lintas umur dan lintas angkatan. Tak lama, CP pun datang mendekatiku dengan kaleng berisi kopi hangat dan sepotong roti kering.
“Cit, makan dulu...”bisiknya pelan.
“Bentar lagi, Pe’. Tanggung,” jawabku tanpa mendongak memandangnya.
“Udah, sini duduk sebelah gue, makan dulu. Gue selesein kerjaan lo.”
“Gak papa, Pe’” aku masih tetap menunduk pura-pura asik dengan kerjaanku, padahal aku berusaha keras menahan air mata yang hendak jatuh. Huh, kata CP anak cewek emosinya suka naik-turun terutama di masa haid dan sebelumnya. Aku benci ini semua. Tapi aku paling sebal dengan Kato yang tertawa terbahak-bahak bersama sahabat-sahabatku di hadapanku. Dasar muna’! Kemarin dia pura-pura gak kenal aku sama sekali, tapi sekarang dia mau rebut sahabatku juga? Munaaaaaa’!!!!
Perlahan CP menyentuh pundakku dan menghentikan gerakan tanganku yang telah dilumuri darah segar. Perbuatannya yang tanpa kata ini otomatis membuatku mendongak menatapnya. Ia tersenyum pelan dan berkata, “Ada yang bilang kalau bekerja sambil marah-marah, hasilnya gak sempurna. Gue tau betapa gak sukanya elo ama pekerjaan yang setengah-setengah. Sini duduk dulu, minum, makan, gue selesein kerjaan lo.” Salah satu yang ngebuat gue bakal selalu ngerasa pilih kasih ke CP dibanding kedua sahabatku yang lain adalah kemampuannya dia untuk seperti gak tau kalau aku sedang menangis agar aku gak malu. Aku menurutinya, memberikan pisauku kepadanya, mencuci tanganku dan perlahan memakan roti keras yang ia berikan sebagai gantinya.
“Wow! Seumur hidup Vito gak pernah mempercayakan pisaunya sama orang lain, elo pasti sahabat paling karibnya dia!” tiba-tiba tanpa suara Kato telah berada di sebelah kami dan menepuk pundak CP. Aku terkejut dan tersedak oleh kopi di tangan. Sungguh aku lupa bahwa Kato mempunyai kemampuan berjalan sesepiku. Dulu ketika kecil ia sering diikut sertakan ayahku untuk berburu dengan kami. Tapi rumah panggung ini hanya ayahku dan aku yang tau. Ini tempat kami.
“Tau gak lo, Pe’. Anak ini sama sekali gak bakal pernah membiarkan orang lain megang pisaunya dia. Gak sekali pun. Nggak untuk hal apa pun.”
Tiga tahun yang lalu...
“Nak, pisau ini paling spesial untuk ayah.”
“Kenapa, yah?”
“Pisau ini dulu dihadiahkan ibumu buat ayah. Ibu sebenarnya tak terlalu suka ayah berburu. Tapi ia tau ini hobi ayah, dan ayah paling merasa menjadi diri sendiri ketika ayah berada di hutan.”
“Boleh gak buat Cita, yah?”
“Wah, jangan sekarang, nak. Nanti ya kalau satu saat ayah gak ada lagi, pisau ini buat kamu.”
“Hmm, kalau gitu Cita gak mau pisaunya.”
“Kok gak mau?”
“Cita mau ayah terus-terusan ada di samping Cita. Cita lebih perlu ayah daripada pisau ayah.”
---
Ketika aku baru kehilangan ayah, hampir setiap malam aku mimpi buruk. Kamarku di rumah pak Besar tepat bersebelahan dengan kamar Kato. Tak jarang ia yang membangunkanku dari penjara mimpi-mimpi itu. Di salah satu mimpi burukku, aku bermimpi ada yang mengambil set pisau ayah. Dengan senggugu aku menceritakan betapa pentingnya pisau itu untukku. Kato hanya duduk mendengarkan di tengah kegelapan. Setelah ku tenang dan berhenti bercerita, ia berjalan mendekatiku, mengecup atas kepalaku, dan kembali ke kamarnya. Di dini hari ini, aku tak menyangka ia benar-benar mendengarkan ceritaku beberapa bulan yang lalu.
Mendengar perkataan Kato mengenai pisau itu, CP menggenggam lebih erat pisauku dan mengedipkan matanya ke arahku dengan jenaka. Untuk beberapa saat kulihat Kato memandangku bingung, karena kelakuan CP ke arahku jelas-jelas tak seperti kelakuan seorang teman laki-laki ke laki-laki lainnya. Aku tak berkata apa-apa, karena benar-benar merasa tak perlu. Apa untungnya Kato tahu bahwa ketiga sahabatku tahu bahwa aku bukan anak laki-laki?
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AventuraCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...