Setelah sarapan keesokan paginya, mereka sempat memperhatikan anak-anak yang telah mulai dijemput oleh orang tuanya masing-masing. Segerombolan anak-anak bola telah berkumpul dan mulai mengadu keahlian mereka masing-masing dengan kelincahan mempermainkan bola di kaki. Suara dentuman drum, iringan gitar, bas, dan piano pun mulai memecahkan hari. Tiga hari ini anak-anak 3V benar-benar bebas melakukan apa saja yang diinginkan mereka tanpa ada aturan waktu. Ruangan TV yang biasanya tak ramai karena waktu yang terlalu sempit untuk dihabiskan menonton penuh. Anak-anak lelaki remaja yang biasanya tak pernah sepakat tentang apa pun, kali ini sepakat menonton rentetan pertandingan bola regional Eropa.
Pagi yang cerah dengan matahari, tetapi angin yang menggigit masuk ke tulang menemani keempat sahabat yang berjalan ke arah rumah kaca. Cita yang selama sebulan kemarin benar-benar malas makan terlihat tenggelam di jaket tebalnya dan sosok-sosok remaja lelaki yang mulai menjulang ketinggian badannya.
"Brrr...dingin banget sih pagi ini..." Cita merapatkan tubuhnya ke arah Aziz yang berjalan santai dengan jaket tipis. Mungkin karena lapisan lemaknya yang tebal, ia tak terlalu terlihat terpengaruh angin yang mengiris kulit seperti pisau tajam. Yayank pun tanpa bersuara merapatkan tubuhnya ke Cita, sama-sama menahan dingin. Ketika tiba-tiba...
"Shhh...ngumpet, ngumpet!" CP mendorong Aziz ke arah rumpunan pohon yang lebih tebal.
"Aduh!" teriak Cita tertahan karena kakinya terinjak Aziz. Mereka masih belum tahu apa yang terjadi, tetapi menurut dengan dorongan CP yang tiba-tiba untuk bersembunyi di rimbunan daun rontok dan ranting-ranting pohon yang telah botak.
"Kenapa sih?" tanya Yayank berbisik sambil berjongkok dengan ketiga temannya.
"Gue ngeliat Harlan ama Dani di depan" bisik CP.
"Aduh! Yank, lo bawa apaan sih keras-keras nusuk paha gue. Lo jauhan dikit kek jangan deket-deket ama gue! Sesek nafas gue tau!" protes Cita.
"Lo bawa pisau Yank?" tanya Aziz polos.
"Nggak, gue gak bawa pisau, apaan sih yang keras?" Yayank menunduk dan menjauhkan badannya dari Cita.
Ketiga temannya pun ikut menunduk ke arah pandangan Yayank. CP secepat mungkin menutup mulutnya dari tertawa terbahak, begitu juga Aziz. Muka Yayank merah terbakar. Cita yang biasanya polos, menarik alis matanya sebelah dan berkata dengan tenang, "Hmm...gitu toh. Suster bilang kalau dingin ama pagi-pagi kalian "suka bangun". Baru tau gue kenyataannya gimana. Jauh-jauh lo ya Yank dari gue! Iihhhh!!" Yayank yang biasanya selalu tahu harus menjawab apa ke Cita, kali ini mulutnya terkunci. CP dan Aziz seperti hendak meledak dengan pipi gembung dan muka merah menahan gelak tawa.
"Suara apaan tuh, Dan?" tanya Harlan yang berjalan bermeter-meter di depan empat remaja tadi. "Paling juga orang-orang yang lagi pada main bola, bang. Kita mau kemana sekarang?"
"Kita mau mastiin poppy yang jauh di atas sana udah siap panen selama kita liburan musim dingin ini." "Orang-orang itu yang pada datang kesini pas liburan ya, bang?"
"Iya...bisa berpuluh-puluh orang, Dan. Paling penjaga yang disewa sekolah sekarang kan datangnya pagi ama sore doang, gak tinggal di asrama. Jadi mereka bisa kerja malam-malam pas panen."
"Masuk lewat lobang di gerbang depan itu ya?"
"Iya. Sshhh...udah, jangan banyak-banyak nanya. Nanti kalo ada orang lewat ada yang denger kita."
Sementara itu empat sahabat kita telah menenangkan diri masing-masing, tetapi mereka kehilangan jejak Harlan dan Dani. Mereka memutuskan untuk tidak mencoba mencari kedua kakak kelas mereka itu, tetapi hanya mengambil foto tanaman dan jamur yang Cita tidak kenali di rumah kaca.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...