Chapter 31

1.3K 30 0
                                    

Ketika sadar, Cita berada di ruangan gelap yang dingin. Ia dikelilingi oleh box demi box yang bertumpuk di sekelilingnya. Cita mencium bau karat dan rasa asin di pinggiran bibirnya. Darah. Ia tak begitu peduli, dan mencoba berdiri. Ia tak lagi diikat, tetapi kakinya kebas dan sakit ketika ia menegakkan badannya. Untuk beberapa lama Cita mencoba mengingat apa yang terjadi. Mukanya mengeras mengingat detail Bos Mark. Di lantai berdebu yang dingin itu ia menuliskan apa yang ia ingat mengenai Bos Mark, agar ia tak lupa.

Cita menulis: tattoo berwarna merah dan biru yang menutupi jidat samping kanan mukanya, bekas luka pisau yang panjang di bawah mata kirinya, tinggi sekitar 6 kaki, kulit putih terbakar, badannya tidak terlalu berbulu, matanya coklat gelap, alisnya tebal. Di tengah catatannya yang ia gariskan dengan jari di lantai, air mata Cita terjatuh. Seperti tak menyangka ia sedang menangis, Cita menghapus airmatanya dengan marah. Tapi peperangan antara otaknya dan hatinya jelas-jelas dimenangkan hatinya. Cita memeluk lututnya dan tersedak menahan tangis yang keluar tanpa kemauannya.

Di kegelapan ruangan yang dingin, Cita mulai merasa lapar dan haus. Ia memandang mengelilingi gudang, dan mengenali cup styrofoam di dekat pintu. Air. Cita pun menenggak cup itu tak tergesa. Ia sengaja tak menghabiskan air di cup, karena ia tak tahu kapan cup itu akan diisi lagi. Lengang. Tak ada satu suara manusia pun yang terdengar. Hanya suara hutan Chesne yang ia kenal akrab mengelilinginya. Cita kehabisan akal.

Sementara itu CP dan Kato tergesa menaiki mobil pak Besar. Sudah berapa lama yang lalukah Cita naik van? Mereka tak tahu. Ada rasa menyesal harus membuang waktu bercerita ke kepala polisi yang tak membantu apa pun. Dengan kaku Kato memasukkan gigi mobil ke satu. Mobil terbatuk-batuk maju untuk kemudian mati lagi. Bersamaan, Kato dan CP mengumpat. Untuk waktu-waktu seperti ini, Kato menyesal pak Besar tak menyukai mobil automatic. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya mobil itu bisa melaju juga.

Asrama 3V lengang. Semenjak ayah Cita meninggal, tak ada lagi penjaga yang tinggal di dalam asrama. Penjaga yang ada hanyalah penjaga malam. Dan lagi, kota mereka mempunyai kriminal pencurian yang amat rendah. Setelah memarkirkan mobil di pinggir jalan, agak menjauh dari asrama, Kato dan CP mendekati pintu gerbang yang tergembok dengan rantai. Mereka kemudian menyelinap masuk melewati lubang yang diketahui murid-murid 3V turun temurun tanpa ada guru yang mengetahui. Ketika CP masih menipiskan badannya untuk masuk, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang berbicara mendekat. Kato menarik CP secepat kilat hingga mereka berdua aman berada di balik dinding 3V. Mereka menguping di rerimbunan dedaunan mencoba mendengarkan percakapan lelaki yang berjalan di balik dinding.

Lelaki A: "Bos bilang pekerja pengambil daun akan datang sebentar lagi, sebelum penjaga malam memulai tugasnya."

Lelaki B: "Lalu crate (*kotak barang dari kayu) harus kita kirim ke pelabuhan sesudah tengah malam nanti?"

Lelaki A: "Iya. Bos benar hari ini pas sekali untuk melakukan operasi ini. Warga semua berkumpul di downtown, dan setelah itu mereka pasti berkumpul di rumah masing-masing untuk makan malam. Jalanan sepi semua."

Lelaki B: "Yup! Lalu untuk beberapa lama kita gak perlu balik ke kota ini! Tinggal proses daun coca, dan...woohoo! Money, here we are again!"

CP memandang Kato bingung. Daun Coca? Mereka menggunakan hutan Chesne untuk perkebunan daun coca yang diproses untuk cocaine? Nekat. Kato menawarkan air minum dari tas survival kit yang ia bawa ke CP. Untuk beberapa lama mereka terduduk di tengah rimbunan sambil memakan cereal bar. Mau mulai mencari Cita dari mana? Hutan Chesne amat luas. Bermeter-meter dari tempat mereka duduk, mereka mendengar suara deruman mobil. Seketika Kato berdiri. Van putih, di jalanan pasir dari gerbang belakang asrama yang hampir tak pernah terbuka. Gerbang itu ada hanya untuk emergency, bila-bila ada kebakaran di asrama. Jalanan pasir itu memisahkan antara daerah SMP dan SMA 3V.

Kato dan CP pun berjalan mengendap-endap ke arah van putih yang perlahan meninggalkan jalanan pasir. Ketika sampai disana, mereka melihat jalanan setapak masuk ke arah hutan Chesne. Tidak mengherankan, jalanan setapak itu banyak menyebar mengelilingi asrama 3V yang berbatasan dengan hutan Chesne. Kato berjongkok memperhatikan jejak-jejak, tak mengerti apa yang ia harus cari. Ia melihat tetesan darah, dan memanggil CP mendekat. CP memandang Kato tercekam. Darah siapakah? Darah Citakah?

"Bang, kita harus kayak gimana nih? Vito...masa kita biarkan aja dia?"

Kato menarik dan mendorong CP menyuruk ke balik rimbunan daun kering dan ranting. Kulit CP yang putih penuh goretan, tetapi mereka menahan nafas mendengarkan suara yang mereka kenal. Dani.

"Agh! Gue juga gak tau? Ssshh...jangan sampai ada dari komplotan yang dengar. Sekarang kita pulang aja dulu ke rumah masing-masing untuk makan malam thanksgiving, Dan. Udah, gue yakin Vito bakal gak papa."

"Yakin, bang? Badan sekecil dia, digampar kayak gitu... dia nanti ada yang ngasih makan gak ya ya?" Dani terlihat khawatir.

"Lo gimana sih, Dan? Kalo sampe Vito terlepas dia pasti ngelapor ke polisi, dan orang yang pertama diaduin? Pasti kita!"

"Tapi bang..."

"Udahlah, dia masih hidup. Itu aja yang kita pikirin."

"Menurut abang, dia bakal dibiarin hidup?" Harlan berhenti berjalan, dan memandang Dani dalam-dalam. Selama ini mereka tak pernah menghadapi akibat dari keputusan mereka bekerja untuk komplotan itu. Pekerjaan yang selama ini mereka lakukan hanya membuka kesempatan untuk komplotan menanam dan menuai daun coca. Mereka memberi tahu schedule sekolah mereka, schedule penjagaan, dan hal-hal semacam itu. Siang itu sebenarnya mereka tak seharusnya ada disana, tetapi mereka kesana untuk mengambil komisi saja.

Kato mendesis ke arah CP, "Lo ngambil Dani, gue ngambil Harlan." Dengan pisau lipat dari tas survival kitnya, Kato menerkam ke depan. Harlan terjatuh ke tanah. Kato memang lebih pendek dari Harlan, tetapi badannya padat. CP dengan mudah pun menutup mulut Dani dan melipat tangannya ke belakang. Mereka menarik dua anak itu menjauh dari jalan setapak. Belum banyak anggota komplotan yang datang, memang. Tapi lebih baik hati-hati.

Harlan menatap Kato terbelalak. Kato lebih kaget lagi melihat Harlan benar-benar terlibat dengan komplotan yang kini menyandera Cita. Ia memang sudah diberi tahu bahwa Harlan ada hubungannya dengan komplotan yang CP dan kawan-kawan curigai telah membunuh ayah Cita, tapi untuk melihat Harlan dan Dani disini, rasa shocknya membuat ia ingin muntah.

"Lan..?" mata Kato memandang Harlan kecewa. Harlan adalah sahabatnya, dari pertama masuk dulu. Mereka telah berpetualang bersama, menangis bersama ketika Titan meninggal. Di satu kata pendek itu, terasa berat oleh Kato untuk mengatakannya. Harlan tertunduk. Dani yang melihat Harlan yang lemas, mengibaskan mukanya dari sekapan tangan CP, tapi tak mengeluarkan suara meminta bantuan. Harlan kemudian mendudukkan dirinya.

"Lan, Cita ada dimana?" tanya Kato mengiba. Harlan memandang Kato heran. Kato baru tersadar bahwa nama yang ia ucapkan adalah nama perempuan. Nama perempuan yang begitu berarti untuknya.

"Lan, Vito itu Cita. Dia anak perempuan, dan sepertinya yang nangkep dia sekarang itu dulu adalah pembunuh ayahnya," lanjut Kato dengan suara berbisik. Badannya begitu lemas. Di telinganya masih terngiang percakapan Dani dan Harlan tadi, "digampar." Anak kurus kecil itu, digampar. Kato ingin menangis. "Lan, please...Cita itu kayak adek gue sendiri. Tolongin gue..." Harlan pias. Ia menarik nafas dalam.

"Dan, lo kayaknya perlu ngelapor ke polisi apa yang kejadian disini."

"Bang?" Dani menatap Harlan takut dan bingung.

"Gak mungkin kan kalo adeknya Kato kita biarin dibunuh?" tanya Harlan dengan nada tenang. "Nama lo Rizky kan? Lo temenin Dani ke polisi sekarang juga," kata Harlan ke arah CP. CP menjawab, "Gak mungkin. Gue gak mungkin ninggalin Cita." Kato menoleh ke arah CP, "Pe', Cita bakal gak papa. Elo lapor ke bokap gue sekarang, ceritain semua yang lo lihat." Tapi CP menggeleng kepala, "To, Cita cuma ngelihat lelaki itu sekali, dan untuk sebulan dia kayak mayat jalan. Gue harus ngeliat dia sekarang." Tiba-tiba Dani menyela, "Udah, gue aja yang ke pak Besar. To, lo tulis pesan kecil biar bokap lo yakin pesannya dari elo." Kato merogoh kantongnya dan memberikan kunci mobil ayahnya ke Dani. "Lo harus cepetan ke downtown, Dan. Kalo gak ada di downtown lagi, berarti bokap gue udah di rumah. Dia pasti tahu pesennya dari gue, karena elo yang bakal nyetir mobil dia, bukan gue." Dani mengangguk. Ia mencoba meredakan jantungnya yang berdegup kencang dan berjalan ke arah jalan setapak menuju ke jalan pasir yang satu per satu mulai membawa anggota komplotan. Waktu menuai daun coca hampir datang. Mereka harus bekerja cepat.

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang