Minggu-minggu berlalu, hampir dua bulan aku disini. Belum ada kemajuan sama sekali mengenai pembunuh ayahku. Kami ber-empat berjalan ke kafetaria, waktu makan pagi bersama. Waktu makan adalah satu dari beberapa kesempatan untuk bertemu dengan kakak kelas, selain dengan waktu istirahat dimana kami biasa mengadu keahlian berolahraga.
Di tengah ratusan murid-murid 3V, aku selalu dapat melihatnya, Kato. Dan seperti juga yang kusangka, ia selalu tak pernah mengenaliku, atau berpura tak mengenaliku. Entah yang mana. Mungkin agak aneh untuk orang lain, bahwa seseorang yang telah kukenal hampir selama hidupku, selalu berlaku seperti orang asing di hadapanku. Tetapi kukenal Kato seperti kukenal namaku sendiri. Walaupun hatiku sering terasa sakit karena perlakuan dinginnya, tapi aku lebih tak ingin kalau ada masalah untuknya dengan keberadaanku disini.
Tetapi pagi itu...
“Terus?” tanya Rizky.
“Iya...jadi pas gue mau nuker...” dan aku pun berputar berbalik ke belakang ke arah meja tempat Aziz dan Yayank menunggu.
*Aduhh!* *Prangg!* *Gubrak!*
“Ya ampun, Cit? Eh, Vit? Vito, lo gak papa kan?”
Sementara aku sibuk membersihkan bekas oatmeal yang tumpah tepat ke bajuku, aku melirik ke atas dan terkejut melihat muka Kato yang merah padam tersiram jus Orange dan susu dari cerealnya.
Aku hendak meminta maaf kepadanya, ketika Kato bangun, mengibaskan bajunya begitu saja, dan tanpa menatapku, sibuk membersihkan tray makanannya sendiri dan pergi. Rizky kemudian membantuku berdiri.
“Pe, gue balik ke kamar dulu yah, ganti baju?”
“Mau ditemenin?”
“Nggaklahhh, gue gak papa.”
“Ya udah, gue makan duluan ya?”
“Iya, nanti gue nyusul ke kelas.”
Setelah kuselesai berganti, ku berlari mengejar sahabat-sahabatku ke kelas. Aziz memberiku sepotong muffin yang ia bawa dari kafetaria.
“Aahh, makasihhh Ajissss!”
“Gue tau lo pasti kelaperan, ya kan?”
“Hihihi, iyalah, gue kan belum makan.”
Setelah Aziz melihat sekitar, ia berkata, “Baru tau gue ada cewek serakus elo makannya.”
“Sialan lo Jis!”
“Cit, tadi yang lo tabrak tuh Kato, bukan?” Rizky bertanya.
“Iya.”
“Kato yang anaknya kepsek kita itu?” tanya Yayank.
“Iya,” jawabku.
“Bukannya lo pernah cerita kalo lo kenal dia dari kecil?” tanya Rizky lagi.
“Iya.”
“Kok tadi dia cuek aja ama lo?” tanya Aziz nimbrung.
“Ah, dia emang kayak gitu orangnya. Selalu kayak gitu ama gue, apalagi kalau ada di depan orang-orang lain.”
“Oh ya? Ih sengak banget ya? Gue kira dia orangnya ramah. Kayaknya banyak tuh temennya. Ama cewek-cewek dari asrama sebelah aja dia populer banget,” Aziz bingung.
“Lah kan gue udah bilang, dia kayak gitu ama gue. Kayaknya ama orang lain dia gak kayak gitu.”
“Hmm...kalo begitu dia pasti, pasti sebenernya suka ama elo, Vit,” Yayank berkesimpulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...