Di hari Senin, Cita tak masuk kelas sama sekali. Tetapi di pukul 9 pagi Samson dari kelas 1 Bumi memanggil Cita di kamarnya.
“Vit, lo dipanggil ama pak Anton,” sambil mengetuk kamar.
Pak Anton adalah wali kelas 1 Angkasa. Dengan kepala pusing Cita memaksa dirinya bangun dari tempat tidur dan berganti baju. Tak lama ia keluar dari kamar menemui Samson.
“Ya ampun kenapa lo, muka lo kusut begitu? Lo gak ke klinik aja? Gue denger dari Aziz lo sakit.”
“Kenapa pak Anton manggil gue, Son?” Cita mengalihkan topik pembicaraan.
“Mana gue tau? Gara-gara lo sakit, kali? Apa karena lo sekamar ketauan cabut dari asrama lewat curfew yah?”
“Ketauan? Ah, sialan! Ya udahlah...temen-temen sekamar gue pada dimana, lo tau gak?”
“Gue rasa sih ada di kantor pak Anton juga.”
“Oh...”
Dengan langkah berat Cita mengikuti Samson ke kantor pak Anton. Sampai di sayap tempat kantor-kantor guru, Samson mengetuk pintu pak Anton.
“Masuk!” suara berat pak Anton terdengar menembus pintu jati itu.
Cita masuk perlahan mendahului Samson.
“Kamu kembali lagi ke kelasmu, Son,” perintah pak Anton.
Ia melihat ketiga sahabatnya disitu, berdiri menunduk. Untuk 15 menit berikutnya rentetan marah pak Anton terdengar disitu. Mengenai mereka berempat yang tak mengikuti peraturan, mengenai mereka ketahuan tak ada di asrama Sabtu pagi ketika mereka pergi berburu, dan Minggu malam tak ada setelah lewat waktu curfew. Hukuman mereka kali ini harus mengurus rumah kaca yang berisi berbagai macam tanaman selama sebulan, dan harus berdiam di kelas selama satu jam sesudah waktu sekolah selesai untuk mengerjakan tugas-tugas ekstra. Aziz harus menggunakan satu jam itu untuk mengajar paduan suara sekolah, Yayank untuk memberikan les gratis tambahan matematika untuk anak-anak yang memerlukannya, sementara CP dan Cita memotong rumput dan mengurusi lapangan sepak bola sekolah.
Cita hanya melewati semua peringatan dengan nada kecewa dan marah itu dengan setengah hati. Ia seperti tak benar-benar ada di ruangan itu, dan pak Anton yang telah mengabdi sebagai guru selama 15 tahun itu menyadari sepenuhnya.
“Vito? Kamu dengar hukuman yang kamu harus lakukan selama sebulan? Ada yang merasa gak adil?”
Cita mendongak menatap pak Anton, dan dengan mata kosong ia menjawab, “Nggak pak. Maaf telah mengecewakan bapak.”
Ada sesuatu yang terasa tak beres dari pandangan menyesal ke empat anak di hadapan pak Anton. Ia telah terbiasa dengan kenakalan anak-anak yang hampir setiap tahun sama saja. Tapi pandangan sedih anak-anak di hadapannya tak biasa. Mereka tak ada yang membantah, dan entah kenapa ketiga anak yang lebih dulu dipanggilnya seperti berdiri melindungi Vito dengan menutupi badan kecil anak itu di belakang bahu-bahu mereka. Pak Anton tak pernah ragu dengan indera ke enamnya, kalau mengenai kenakalan anak-anak remaja ini. Pengalaman telah mengajarkannya begitu. Tetapi tak ada lagi bukti dan alasan lain untuk menahan mereka lebih lama di ruangannya.
Ketika keempat anak-anak itu keluar dari ruangan pak Anton, Aziz merangkul bahu Cita dan bertanya, “Masih gak enak badan, Vit?”
Cita yang berjalan menunduk hanya mengangkat dagunya sedikit, menoleh ke arah Aziz dan tersenyum tipis. Ia tepis halus tangan Aziz dan berkata ke arah CP, “Gue bantuin lo ngurusin lapangan pas sekolah udah selesai nanti ya, Pe. Kalian gak usah nungguin gue nanti di kafetaria, bukan giliran kita kan ya kerja minggu ini? Gue duluan ya.” Dan ia melangkah lebih cepat kembali ke arah asrama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama Di Lian
AdventureCerita ini mengenai kehidupan Cita, yang menjadi yatim piatu di umur 13 tahun ketika ia menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya. Ia diangkat dan disembunyikan oleh kepala sekolah sebuah asrama di kota Lian. Asrama ini adalah sekolah khusus laki...