Our Direction : The Paper - 2

8.8K 515 32
                                        

Lilly akan menjalani test sebentar lagi. Test yang dilakukan oleh Lilly akan lebih banyak dari biasanya. Test pertama, dia kaan berlari di atas treadmill dengan badan yang dipenuhi oleh suatu tempelan yang Lilly tidak tahu namanya. Dia bertemu dengan dokter Andy lagi. Tentu saja dia langsung berlari dan memeluk dokter Andy., orang yang benar-benar peduli padanya selama ini.

"Lilly, santai saja. Rileks, ok?" kata dokter Andy, Lilly mengangguk.

Lilly mulai berjalan di atas treadmill selama 1 jam. Paul dan kelima pria itu menyaksikannya dari balik kaca. Dokter Andy sudah menyuruhnya untuk berhenti. Lilly mengatur napasnya, baru setelah itu dia minum. Setelah ini dia akan menjalani test selanjutnya.

Lilly sudah berganti baju, dia menggunakan baju serba putih yang ketat. Baju itu memperlihatkan lekuk tubuh Lilly, Niall jadi teringat saat dia pergi menemui Presiden bersama keempat temannya dan juga dengan Lilly. Lilly sudah masuk ke dalam ruangan yang semuanya serba putih. Lilly melihat sebuah tombol merah di ujung sana. Dia harus menekan tombol merah itu. 

"Lilly, kau harus menekan tombol merah itu. Ingat, kau tidak menggunakan pengaman. Sebuah peluru softball akan mengenai tubuhmu jika kau tidak cepat. Ok?" Lilly mengangguk setelah mendengar suara Paul dari speaker. Paul menekan tombol bewarna merah yang berada di hadapannya.

Lilly mulai berjalan sesekali bergaya akrobatik, seperti apa yang dilakukan oleh para sirkus. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di ujung sana, dan tidak ada satu peluru softball yang mengenai tubuh Lilly. Hanya peluru softball, tapi tetap saja jika mengenai tubuh Lilly akan menimbulkan memar, apalagi Lilly tidak menggunakan pengaman.

 Seperti ballerina, Lilly memencet tombol itu dengan kakinya. Gerakannya sangat anggun, tubuhnya masih sangat lentur. Kelima pria itu bertepuk tangan melihat Lilly, kagum dengan pertunjukan singkat yang baru saja mereka lihat.

Setelah ini, Lilly akan bertemu dengan psikiaternya. Dia sudah lama tidak menemui psikiaternya itu. Lilly berjalan memasuki ruangan yang hanya diisi oleh sebuah meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Lilly duduk di salah satu kursi itu, tak lama Lilly melihat wajah yang tidak asing baginya, tentu saja psikiaternya. Dia tersenyum pada Lilly. Paul dan kelima pria itu tetap menyakiskan dari balik kaca.

"Apa kabar, Lilly? sudah lama tidak berjumpa" sapa psikiaternya, Lilly tersenyum. "Langsung di mulai saja ya. Apa yang kau rasakan saat ini?"

"Kedamaian" jawab Lilly. Psikiaternya menuliskan sesuatu di sebuah kertas yang dijepitkan dengan papan jalan.

"Masih mencari pembunuh kedua orang tuamu?"

"Tidak"

"Kau sudah menemukannya?"

"Ya"

"Kau benci padanya?"

"Awalnya, tapi kata-kata ayahku selalu terngiang di kepalaku"

"Kau memaafakn perbuatan orang itu?"

"Ya"

"Kemana kau selama ini?"

"Johannesburg"

"Kenapa kau memilih tempat itu?"

"Pasti tidak ada yang berpikir kalau aku berada di sana"

"Bagaimana kehidupanmu disana?"

"Aku bahagia, hidup seperti perempuan lainnya"

"Apa alasanmu kembali?"

"Kata mereka, dunia membutuhkanku"

"Baiklah. Kau harus menjawab pertanyaan ini dengan cepat, tanpa berpikir"

Our Direction [ON EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang