Our Direction : One Direction - 9

3.6K 347 46
                                        

Kami semua berkumpul dalam ruang kerjaku, beruntung ruang kerjaku cukup luas untuk dijadikan sebuah markas sementara. Louis segera memainkan kabel-kabel memusingkan itu saat sampai. Louis masih berkutat dengan laptopnya sampai saat ini, mungkin dia sedang menyelidiki sesuatu. Niall dan Justin kini masih bermain dalam alam mimpinya, mereka berdua tidur di lantai dengan tas masing-masing sebagai ganjalan untuk kepala mereka dan merelakan sofa empukku untuk Zayn. Harry meminta izin padaku untuk menjadikan kursi kerjaku sebagai tempat tidurnya, aku tentu mengizinkannya karena dia baik padaku. Tidak sembarang orang bisa duduk di kursi kerjaku.

Aku memilih untuk tidak tidur. Lebih tepatnya aku takut tidur saat ini. Sudah cukup lama aku berdiri memandang jalanan kota New York, cukup lama sampai matahari mulai menampakkan diri. Mobil-mobil juga sudah mulai memadati jalanan kota New York.

"Lilly, kau berdiri disana dari tadi malam?" tanya Niall sambil mengucek-ucek matanya pelan, sungguh dia benar-benar terlihat seperti anak kecil yang baru saja bangun dari tidurnya lalu pergi menemui Ibunya untuk meminta sarapan.

Niall yang paling pertama bangun, kupikir lelaki itu yang akan paling akhir bangun. Justin yang berbaring di sebelahnya saja tampaknya masih betah berada di alam mimpinya.

"Bisa bantu aku mengganti perbanku?" ucapku.

"Sebuah kehormatan"

Aku duduk tepat menghadap wajahnya. Aku bisa melihat matanya yang bewarna biru terang, mengingatkanku pada warna langit ketika cerah. Matanya mampu membuatku tidak begitu merasakan dinginnya toilet kantor ini.

"Kau benar-benar tidak tidur ya?" tanya Niall. Aku hanya tersenyum. "Dasar gila, senyum-senyum sendiri. Aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu"

"Kau ada sesuatu dengan Justin ya?"

Eh?

"Maksudmu sesuatu apa, Horan?"

"Aku pernah bertemu dengannya dua kali, yang pertama di sebuah club beberapa tahun yang lalu. Yang kedua saat aku menghadiri salah satu pesta perdana menteri Inggris" Kuakui ingatannya cukup bagus untuk ukuran seorang pemabuk.

Aku jadi penasaran apakah dia masih suka minum atau sudah jarang? "Club itu ada banyak, lebih tepatnya dimana?" balasku.

"London. Dia bersama seorang wanita" klise sekali jawabannya.

"Kau mengira aku wanita itu?" tebakku, sebuan trik untuk membuat dugaannya berkurang terhadapku. Aku tahu jelas apa yang Niall maksud.

Hey, Justin belum sampai membawaku keluar dari benua Amerika. Bisa-bisa dia dilaporkan dengan tuduhan menculikku oleh Paul. Jadi wanita itu bukan aku.

"Tapi tidak mungkin bukan?" balasnya. Gotcha! Untung saja tidak ada yang tahu masa kelamku selain Paul dan Justin.

Sudah pasti Niall menganggapku seorang wanita yang memiliki prinsip untuk 'bersih'. Awalnya aku berprinsip seperti itu. Dia tidak tahu kalau aku pernah lebih parah darinya. Untung saja aku sudah keburu tobat sebelum bertemu dengannya di sebuah club, walaupun dia tinggal di London aku tahu dia suka mengunjungi negara-negara yang memiliki club terbaik. Amerika? Jelas.

"Dia biasa dengan banyak perempuan, Horan" balasku.

"Berarti kau pernah bertemu dengan Justin sebelumnya"

Sial.

"Aww, pelan-pelan Horan!" sebenarnya aku hanya pura-pura saja agar mendapat waktu untuk memikirkan sebuah alasan yang bagus. "Aku pernah bertemu dengannya sekali saat aku menghadiri salah satu acara makan malam"

"Aku tidak mengerti kenapa Louis dengan gampangnya memasukkan Justin ke dalam team kita. Padahal dia bilang kita tidak bisa mempercayai siapapun" Niall mulai memasangkan perban.

Our Direction [ON EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang