Kupikir aku sudah berada di dunia lain sampai aku mendengar suara besi berdecing dan aku mencium aroma obat-obatan yang khas. Hatiku mencolos mengetahui rasa sakit yang kualami tadi bukanlah akibat sebuah peluru yang Dia utus untuk menembus jantungku, melainkan hatiku yang benar-benar sudah hancur lalu dengan teganya diinjak kembali.
Aku masih berharap semua kejadian yang baru saja kualami hanyalah sebuah mimpi buruk yang menghiasi tidur panjangku, ketika membuka mata nanti aku akan mendapati nya berada di sampingku. Menatapku dengan tatapan khawatirnya seperti biasa lalu aku akan meminta maaf karena telah melakukan sesuatu hal yang bodoh.
Akulah yang bodoh.
Berharap hanyalah membuatku makin lemah.
Kupikir setelah penantian panjang yang kualami, Dia adalah orang yang benar-benar tepat.
"Fool me once, shame on you. Fool me twice, shame on me"
Sekarang aku sudah dibodohi sebanyak tiga kali oleh cinta. Berarti aku memang benar-benar bodoh.
Kubuka mataku perlahan, aku benar-benar belum mati ternyata. Aku melihat seorang suster sedang merapikan alat-alat yang mungkin habis digunakan untuk mengobati luka menyeramkan pada pipiku ini.
"Permisi" mungkin karena ruangan ini begitu sunyi, suster itu menoleh dengan cepat seolah-olah namanya disebut sebagai pemenang lotre. "Apa aku sudah boleh keluar dari sini?"
Si suster terlihat menimbang-nimbang sejenak. "Jika kau merasa sanggup, kau boleh keluar sekarang. Jika kau tidak kuat aku akan panggilkan kekasihmu untuk membantumu"
Kekasih? Sial. Otomatis statusku kembali menjadi lajang sekarang, terkutuklah sifat sok tahu suster ini. Aku memang ingin segera keluar dari ruangan ini dan tanpa banyak omong aku berjalan keluar dari ruang perawatan rumah sakit ini.
Ternyata mereka semua menunggu di luar, Justin langsung memegang kedua pundakku yang langsung kutepis serta mendapat bonus tatapan tajam dariku yang membuatnya langsung tidak berkutik. Aku benci harus diperlakukan seperti yang terlemah. Aku tahu mereka hanya ingin memberikan sedikit suntikkan penyemangat mengingat kini yang terluka bukan hanya tubuhku melainkan jiwaku kini juga sedang terluka. Namun aku Lilly Kensbrook.
"Mana Zayn?" tanyaku setelah menyadari ketidakberadaan Zayn.
"Dia sedang diobati" ucap Niall.
Lelaki itu mendapat sebuah sikutan pelan dari Harry yang langsung membuatku tersadar akan sesuatu. Terakhir kulihat Zayn masih dalam keadaan sehat dan tidak terlihat sedikit luka serius pada tubuhnya, kenapa dia harus diobati?.
Aku tahu apa yang membuatku masih berdiri di dunia saat ini. "Antar aku menemuinya" ucapku.
Aku menyadari suara dingin milikku yang mampu membuat siapa saja mengikuti perintahku menampakkan wujudnya kembali. Jika kembali menjadi Lilly yang dulu mampu membuatku bertahan selama sementara, akan kulakukan itu.
Ruang perawatan Zayn tidak terlalu jauh dari ruang perawatanku. Saat aku masuk, dia sudah duduk di atas ranjangnya.
"Bisa tinggalkan kami berdua?" tanyaku kepada Louis, Niall, Harry, dan Justin. Mereka mengangguk lalu meninggalkan aku dan Zayn berdua.
Aku menatap lengan kanan Zayn yang terbalut oleh perban. "Hanya menembus kulit terluarku, kau tidak perlu khawatir" ucapnya.
"Seharusnya kau membiarkanku saja" bukan otakku yang mengirimkan perintah untuk berbicara seperti itu, jiwaku yang sedang porak poranda yang mengirimkannya.
"Kita semua tahu cinta adalah hal yang paling mematikan di dunia ini" Zayn mengelus pundakku menggunakan tangan kirinya.
Aku memang terdengar tidak tahu diri dan kurang ajar, seharusnya aku mengucapkan terima kasih atau sesuatu yang terdengar menghargai apa yang telah Zayn lakukan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Direction [ON EDITING]
Fanfic[COMPLETED] Lilly Kensbrook, akan bekerja sama dengan lima lelaki dengan latar belakang yang berbeda-beda serta kemampuan yang berbeda-beda pula. Niall Horan, Louis Tomlinson, Zayn Malik, Liam Payne, dan Harry Styles. Dapatkah mereka berhasil memeca...