"Sudah ketemu mas?"
"Iya, sudah."
"Bagaimana sekarang?"
"Makin tampan, semakin membuat cinta."
Kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak, kapan lagi mereka bisa berbincang begini kalau bukan ketika waktu menjelang tengah malam.
"Johannes, manusia seperti saya ini apa boleh dibiarkan tetap ada di tengah-tengah masyarakat yang penuh aturan ini?" Si kecil bertanya demikian.
Lelaki yang namanya Johannes itu memberi senyumnya pada si lelaki yang lebih manis darinya.
"Johan nggak berani kasih jaminan kalau masyarakat bisa terima, tapi apa salahnya mencoba kan." Jawabnya.
"Kamu tau enggak Jo, tiga tahun lalu itu saya kayak dipaksa untuk mati, tapi nggak bisa karena masih pegang dua beban dipundak."
"Apa tuh mas Bi?"
Abian hembuskan nafasnya lelah, ia memilih untuk memejamkan matanya terlebih dahulu sebelum lanjutkan ucapannya.
"Yang pertama tentu bunda, kalau yang kedua ya pria yang berhasil pegang hati saya. Sebelum saya menikah, dia titip bahagianya sama saya. Katanya kalau saya bahagia, dia juga akan bahagia." Tutur Abian.
Johannes mengekeh geli, "Munafik, enggak ada yang begitu mas Bi. Namanya bahagia gak bisa main dititipin gitu aja." Katanya.
Abian ikut tertawa pelan, dipikir-pikir ucapan Johannes nggak sepenuhnya salah. Sejak kapan bahagia seseorang bisa dititipkan?
"Saya merasa enggak enak karena meninggalkan dia dengan cara begitu."
Johannes mau coba paham sama keadaan temannya ini, sedikit banyaknya dia juga mau kasih solusi. Perihal Abian dan pasangannya dahulu, keduanya cuma disalahpahami sama masyarakat, didukung pula sama aturan norma nya, ditambah lagi dunia nggak mau tau. Luka mereka terlalu dalam. Apa keinginan mereka bersatu memang bebannya sebegini banyak nya?
Kalau iya, Johannes mau tanya sesuatu.
"Mas Abian capek enggak?" Tanya Johannes.
"Capek sekali, sampai rasanya saya ingin pergi dari sini." Jawab Abian.
Johannes anggukan kepalanya, sudah dia duga sebetulnya kalau perjalanan keduanya memang melelahkan.
Pria Jo itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan bungkus rokok Sampoerna mild yang baru saja ia beli tadi sebelum bertemu Abian, Johannes berikan bungkusan itu pada Abian.
"Rokok mas, biar nggak stres." Katanya.
Abian terima dengan senang hati, lumayan lah malam ini ia merokok tidak sendiri seperti malam-malam yang ia habiskan sebelumnya.
"Kalau boleh nawar, saya maunya dibikin gila saja lah biar gak ketemu pria itu." Kata Abian lirih.
"Kenapa mesti gila mas?" Johannes tanya karena dia enggak ngerti.
"Kalau saya gila kan gak mungkin bisa ketemu pria itu, jadi saya nggak jatuh cinta dengan menyedihkan begini." Jelas Abian.
Abian enggak salah ngomong kok, dia memang banyak berpikir akhir-akhir ini. Rupanya jatuh cinta memang se- menyedihkan dan serepot ini.
Pria kecil itu mau nangis saja, tapi nggak jadi karena ingat waktu yang semakin larut dan telepon dari bunda nya yang gak kunjung berhenti. Abian putuskan untuk undur diri lebih dulu dari hadapan Johannes yang masih sibuk dengan rokoknya.
—
"Bunda, buka pintunya." Teriak Abian.
Pria mungil itu masih sibuk menunggu pintu terbuka sambil terus menyesap sebatang rokok dengan tenang, mencoba menikmati nikotin yang terkandung didalamnya, manatau bisa membuatnya mati saat ini juga. Kan Abian jadi senang, bebannya hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐥𝐮𝐞 𝐍𝐞𝐢𝐠𝐡𝐛𝐨𝐮𝐫𝐡𝐨𝐨𝐝 [CHANBAEK END] ✅
Fanfiction-̲ Isi nya cuma perjuangan yang enggak ada hentinya. ----- BXB ⚠️ LOKAL ⚠️