Bab Enam belas

18 6 1
                                    

Di kamar Rubi duduk di tepi kasurnya, memperhatikan gantungan kunci yang sedang di pegangnya saat ini.

"Kok gue ngerasa ini berharga banget ya."

"Tapi gue juga ga tau kenapa barang ini begitu berharga, gue juga ga inget ini dapet dari mana? Dari siapa?" Rubi terus bertanya-tanya.

Kenapa dia gak bisa inget masa+masa kecilnya. Memorinya hanya mengingat orang-orang terdekatnya saja, kejadian masa kecilnya seperti terhapus begitu saja, apa yang terjadi, ada apa dengan dirinya?

Rubi meletakkan kembali gantungan itu ke tempat asalnya, digantung di tas sekolahnya.

Tokkk ... tokkk ... tokkk.

Sesorang mengetuk pintu kamar Rubi.

"Neng, makan malam dulu."

"Iyaaa, sebentar."

_________

Sinta sedang menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya. Meskipun Bi Cici bekerja sebagai asisten rumah tangga, tapi kalo soal masak, Sinta bagiannya, Bi Cici hanya membereskan rumah saja. Kalau Sinta sedang sibuk baru Bi Cici yang memasak.

"Ada yang perlu dibantu, Bu?" tanya Bi Cici karena melihat Sinta yang seperti kerepotan.

"Udah ko, Bi. Tolong panggilin anak-anak aja, Bi."

"Baik, Bu."

Bi Cici pergi menaiki tangga memanggil Renzo dan abangnya, Liu namanya. Dengan garis wajah tampan sama seperti Renzo, hanya saja rambut Liu sedikit lebih ikal dibandingkan dengan Renzo, tapi itu tidak mengurangi standar ketampanannya.

Kamar mereka bersebelahan, jadi Bi
Cici tidak perlu repot-repot untuk memanggil keduanya, Bi Cici hanya perlu memanggilnya di tengah-tengah kamar mereka.

"Nak Liu, nak Renzo, ayo makan malam dulu, kata ibu."

"Iya, Bi." Renzo menyaut dari dalam kamarnya.

Tidak ada jawaban dari Liu, Bi Cici rasa mungkin sedang di toilet jadi tidak terdengar.

Bi Cici kembali turun ke dapur membantu Sinta merapihkan makanan di atas meja.

Tak lama Renzo turun dari kamarnya, duduk di kursi bagiannya.

"Papah belum pulang, Mah?" tanya Renzo.

"Katanya mau lembur, jadi kita makan malam duluan aja."

"Abangmu mana?"

"Gatau, masih di toilet kali."

"Cepat panggil dulu."

Renzo tidak pernah membantah perintah ibunya, jadi Renzo menurut. Renzo kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga, hanya untuk memanggil abangnya.

Dor ... dor ... dor.

Renzo mengetuk pintu kamar abangnya. Bukan mengetuk pintu sih, lebih tepatnya menggedornya dengan cukup keras.

"Bang buruan makan, nanti cepet mati lo kalo gak makan."

Liu cepat-cepat membuka pintu, karena adiknya ini terus mengetuk pintu.

"Gue pernah gak makan seharian, buktinya gue masih idup," jawab Liu.

"Itu mah lagi kebetulan aja."

Renzo pergi meninggalkan Liu begitu saja, kembali turun ke dapur yang juga diikuti Liu.

Makan malam kali ini kurang satu orang, Gara—papah Renzo dan juga Liu. Gara bekerja satu perusahaan dengan Adam, ayah Rubi. Malam ini Gara lembur kerja, jadi tidak bisa kumpul seperti biasanya.

EDELWEIS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang