Setelah pulang sekolah, Rubi tidak langsung pulang, ia mampir sebentar ke cafe untuk sekedar menjernihkan pikiran dan hatinya.
Di perjalanan Rubi sengaja mematikan AC mobil dan membuka jendela mobil,membiarkan angin sore masuk tanpa menghalangi.
"Mang Jaja pulang dulu aja, kalau nanti aku mau pulang dikabarin," ujar Rubi berpesan.
"Ya sudah, kalau begitu Mang Jaja pulang, ya."
Rubi masuk sendirian, masih mengenakan seragam sekolahnya, hanya saja bajunya ia tutup dengan sweater agar tidak terlihat bet asal sekolahnya.
Cafe-nya bernuansa monokrom, memiliki dua lantai dan beberapa fasilitas lain yang membuat para pengunjungnya merasa nyaman.
Rubi memilih duduk di lantai atas, karena di sana tempatnya outdoor, bisa langsung melihat ke arah pusat kota, dan biasanya di lantai atas itu sepi pengunjung, kebanyakan orang memilih duduk di lantai bawah, jadi itu pilihan yang tepat untuk menenangkan diri dan duduk sendirian di atas sini.
Pemandangan yang bebas, menghadap langsung ke pusat kota, melihat kerlap-kerlip lampu yang mulai menyala karena hari sudah mulai gelap. Rubi memesan espresso panas dan banana nugget untuk menemaninya kali ini.
Beberapa pasang mata para barista dan pegawai lainnya menatap aneh Rubi. Duduk sendirian, bengong tidak jelas, kadang tiba-tiba ketawa terus diam lagi. Mereka hampir menganggap Rubi depresi atau gila.
"Kasian ya, padahal masih muda," ujar pegawai wanita di cafe tersebut.
Rubi tidak mempedulikan itu, ia sedang menikmati kopinya.
Padahal sebenarnya saat itu, saat Rubi minum kopinya, ia mulai merasa tenang dan damai, semua kejadian hari ini mulai teringat satu persatu.
Rubi mengingat saat Raka yang merangkul wanita lain. Rubi berusaha bersikap tenang, ia tidak bisa mengambil kesimpulan begitu saja, dirinya harus menanyakannya dulu, mendengar penjelasan dari Raka, jika tidak memungkinkan mungkin Rubi harus mengakhiri hubungannya dengan Raka yang di damba-dambakannya sejak dulu itu.
Paras ketampanan atau kecantikan itu hanya untuk awalan saja, sisanya perilaku dan kecocokan. Percuma saja jika mereka sama-sama cantik dan tampan tapi pikiran mereka tidak se-jalan, dan tidak se-frekuensi.
Mungkin dulu, Rubi mengincar Raka karena dia seseorang yang dikenal banyak orang karena ketampanannya, setelah sekarang sudah dapat, malah tidak sesuai. Parasnya yang tampan dijadikannya senjata yang ampuh untuk mendekati para betina yang haus akan popularitas.
Rubi tidak akan menuntut penjelasan dari Raka, dia akan menunggunya sadar diri untuk menjelaskan semuanya.
Tak terasa sudah 3 jam Rubi duduk, dan kopinya pun hampir habis.
Drttt....
Handphone-nya bergetar, panggilan masuk dari Renzo. Rubi menaruh kembali hp-nya tidak ingin diangkat. Beberapa pesan spam masuk dari Renzo.
Handphone-nya kembali bergetar, akhirnya Rubi mengangkatnya.
"Halo, kak? Kenapa?" tanya Rubi.
"Lo lagi di mana?"
"Emang kenapa?"
"Lo belum balik? Lo di mana? Cepet share loc gue jemput sekarang."
"Ih apaan si, enggak! Rubi bisa pulang sendiri."
"Bokap lo telfon gue, katanya lo belum balik sekolah, dia khawatir sama lo."
"Mana? Dia ga ada nelfon gue. Kak Renzo pasti boong kan, biar bisa modus ketemu, iya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Teen FictionKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...