Alarm berbunyi pukul lima pagi mengusik tidur nyenyak Rubi. Dengan terpaksa Rubi berusaha membuka matanya, Rubi tidak segera pergi ke kamar mandi, dirinya masih duduk di atas tempat tidur king size kesayangannya dengan mata tertutup.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya Rubi beranjak dari duduknya, dan berjalan gontai menuju kamar mandi.
Mandi dengan air hangat, membuat Rubi sedikit lebih segar meskipun tidak dengan air dingin.
Minum segelas air putih setelah bangun tidur, menjadi rutinitas Rubi karena bagus untuk kesehatan. Sejak kecil Rubi memang dididik sangat baik oleh bundanya, sampai hal terkecil pun, makanya Rubi melanjutkan kebiasaan sejak kecilnya hingga sekarang.
Rubi duduk di kursi meja belajarnya, membaca sebentar materi hari ini dan mengecek kembali buku yang akan dibawanya. Saat akan mengambil novel di rak bukunya, Rubi melihat buku diary yang sudah lama tidak Rubi buka karena memang diary tersebut harus menggunakan no pin untuk membukanya.
Sampulnya sudah kusam dan kotor, mungkin karena sudah lama tidak terawat, Rubi sudah mencoba membukanya namun tidak juga bisa, nomor yang dimasukan selalu salah.
Akhirnya Rubi menyerah, dia sudah cukup kesal dengar diary tersebut, dan menyimpannya kembali.
Matahari sudah muncul dari timur, cahayanya menembus sela-sela gorden, Rubi mengambil tasnya dan keluar dari kamarnya.
"Selamat pagi, Rubi," sapa Tira saat melihat Rubi mulai menuruni tangga.
Telinga Rubi terasa panas sekali mendengar sapaan ibu tirinya yang tidak tulus itu. Ayahnya sudah berada di kursi utama.
"Tumben sekali," batinnya.
"Selamat pagi, semua." Rubi menyapa orang-orang yang di rumah.
"Pagi sayang," jawab ayahnya—Adam—yang tengah membaca koran pagi harinya dengan segelas kopi hitam pahit di meja.
"Bi Siti, Rubi mau teh manis anget," ujar Rubi seraya duduk di meja makan.
"Biar ibu yang buat, ya." Sinta beranjak dari duduknya dan pergi membuatkan teh manis pesanan Rubi.
"Dasar caper," ujar Rubi dalam hatinya.
"Ayah, hari ini, Rubi gausah dijemput, ya." Rubi membuka obrolan paginya dengan Adam.
"Kenapa?" tanya Adam tanpa mengalihkan pandangannya pada koran yang sedang dibacanya.
"Emm ... Rubi mau main dulu ke rumah Rheni," ujarnya berbohong.
"Ouh, yaudah boleh, bilang nanti sama mang Jaja biar nanti pulang dari rumah Rheni dijemput."
"Iya, Yah."
"Ini teh manisnya." Sinta datang membawa teh manis dan menyimpannya di meja depan Rubi.
"Makasih, Bu."
___________
Seperti biasa, karena Adam akhir-akhir ini selalu ada di rumah, jadi Rubi diantar Adam ke sekolah, karena arahnya yang sejalur dengan kantornya, memudahkan Adam untuk mengantar Rubi dulu ke sekolah.
"Are you okay?" tanya Adam saat Rubi mulai melepas seatbelt yang mengikatnya.
Rubi menatap ayahnya dengan tatapan yang mengisyaratkan kalau dirinya tidak baik-baik saja. Namun ucapannya berkata lain. "Yes, of course. I'm fine, Dad."
"Do I look not okay?" Rubi bertanya balik dan bercermin di kaca spion mobil, dirinya memang terlihat sedikit pucat.
"Kalau ada apa-apa bilang ya, sayang," ujar Adam sambil mengelus puncak kepala anaknya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Teen FictionKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...