Tak ada yang menarik dari kisah hidupnya, mungkin orang yang membencinya akan tertawa saat mendengar kisah hidupnya yang penuh penderitaan ini. Untungnya Rubi sangat mahir dalam mengekspresikan emosinya, dia bisa terlihat begitu bahagia, atau pun begitu menyedihkan.
Di umurnya yang sekarang, Rubi masih mencari jati dirinya, selama ini dirinya hidup tanpa tujuan.
Setelah kejadian romantis kemarin, hari-hari Rubi terasa lebih berwarna. Hitam dan abu-abu, dua warna yang hanya mengisi harinya. Hadirnya Raka dalam hidupnya, Rubi berharap bisa mengubah sedikit garis kehidupannya, menjadi lebih baik.
Seharusnya kemarin adalah jadwal check-up dirinya ke rumah sakit, tapi karena ada sesuatu hal, Rubi menundanya.
Dokter Susan menghubunginya kemarin, bertanya mengapa dirinya tidak datang, salah dirinya juga, harusnya dia memberitahu dokter kalau tidak bisa datang.
Mang Jaja pun menelponnya berulang kali sambil sembunyi-sembunyi, mengomel karena tidak pergi ke rumah sakit. Tentu saja hanya mang Jaja yang mengkhawatirkannya, tidak ada yang lain, bahkan ayah kandungnya pun tidak tau.
Setelah dirinya diantar pulang oleh Raka, mang Jaja yang pertama menghampiri Rubi, menanyakan kondisinya.
"Neng Rubi ke mana dulu? Hari ini kan harusnya Neng ke rumah sakit," ucap mang Jaja sesaat setelah Rubi masuk gerbang.
"Sttttt ... jangan kenceng-kenceng ngomongnya, Mang. Tadi Rubi ke toko buku, jadi ga bisa ke rumah sakit," jelasnya.
"Terus, kapan Neng mau ke rumah sakit?"
"Nanti Rubi kabarin, udah ya Mang, Rubi masuk dulu."
Berjalan meninggalkan mang Jaja yang masih berdiri penuh harap kalau majikannya ini baik-baik saja.
Pintu tidak terkunci, terbuka seperti biasa, Rubi masuk mengucapkan salam namun tak ada yang menjawabnya. Berjalan masuk melewati ruang tamu dan dapur, terlihat bi Siti ada di sana.
"Bi Siti," panggil Rubi.
"Eh, Non, udah pulang?" dijawab anggukan dan senyum manis Rubi.
"Ayah, ibu, ada?"
"Bapak ada, tapi baru aja ibu keluar," tuturnya
"Ke mana?"
"Kurang tau Bibi, Non."
Rubi meneruskan jalannya ke kamar, terlalu lelah dirinya untuk menaiki puluhan anak tangga, tapi bagaimana lagi ini toh ini keinginannya ingin memiliki kamar di lantai atas yang memiliki lobi.
Kamar yang ia dekor sesuai keinginannya menjadi tempat ternyaman untuk istirahat menghilangkan penatnya. Tapi rumahnya tidak pernah menjadi tempat 'pulang' yang sesungguhnya.
Mandi membersihkan diri setelah seharian berkeringat.
Pulang sekolah dengan wajah berseri-seri adalah sesuatu yang langka, biasanya wajah muram dan lelah yang ia tunjukkan saat pulang sekolah.
Entah apa yang membuatnya begitu senang, mungkin hari ini adalah hari dirinya benar-benar telah terikat dengan Raka.
Menjadi pacar seorang most wanted adalah sesuatu yang didambakan setiap orang di sekolah, tapi tidak dengan Rubi. Bukan karena apa-apa, dirinya hanya tidak suka menjadi sorotan sekolah, ini mimpi indah sekaligus mimpi buruknya.
Setelah merasa santai, Rubi keluar dari kamarnya, meja makan kosong tidak ada satu pun yang duduk. Bi Siti juga sepertinya sedang mempersiapkan makan malam.
"Bi, ayah di mana?"
"Tadi Bibi liat ada, di ruang kerja mungkin."
Rubi mengecek ayahnya di ruang kerja, namun tidak ada. Rubi mencari ke belakang rumahnya, dan benar saja, Adam sedang duduk di kursi dekat kolam renang dengan beberapa buku di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Teen FictionKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...