Bab dua puluh enam

13 2 0
                                    

Setelah kejadian itu, akhirnya Rubi mau pulang ke rumah setelah Renzo berhasil membujuknya dengan berjanji akan membelikannya ice cream dan coklat.

Udara malam yang dingin menembus sweater putih milik Rubi, di perjalanan pulang Rubi tidak sedikit pun melepas pelukannya pada Renzo, lengannya setia melingkar di pinggang Renzo yang sedang mengendarai motornya.

Rubi tidak berbicara sedikit pun, mulutnya bungkam, tapi otaknya tidak berhenti berpikir mengapa ibu tirinya berbuat seperti itu. Air matanya kembali menetes, mengingat kejadian mengerikan tadi. Pipinya masih terasa perih.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di depan rumah. Rubi melompat dari motor dan berlari masuk ke dalam rumah dengan air mata yang tak berhenti mengalir di pipinya.

"Sudah pulang, Nak?" tanya Adam saat melihat putrinya membuka pintu. Namun Adam melihat Rubi berlari ke arah kamar Adam sambil menangis.

Karena takut terjadi sesuatu, Renzo berlari menyusul Rubi begitu pula dengan Adam.
Saat dilihat oleh Adam dan Renzo, Rubi sedang mengeluarkan semua pakaian Tira dengan acak dari dalam lemari. Memasukannya ke dalam koper besar dan membawanya keluar kamar.

"Apa yang kamu lakukan, Rubi?!" bentak Adam saat Rubi membanting koper itu sangat keras.

"Rubi benci Ibu, Rubi juga benci Ayah!" ujarnya keras disusul dengan tangisan dan teriakan.

Emosi Rubi tidak terkontrol, dia sudah muak dengan semua perilaku ibu tirinya itu. Rubi sudah tidak bisa menahannya lagi, dia benar-benar membenci Tira.

Tak lama Tira datang dengan santainya seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Adam masih belum mengerti apa yang terjadi.

"Ini dia nih, orangnya!" Rubi berjalan angkuh mendekati Tira. Matanya menyorot tajam. Tatapan kebencian. Entah ada keberanian dari mana, ini seperti bukan Rubi yang biasanya. Emosinya sangat membludak dan tidak terkontrol.

"Pergi dari sini sekarang juga! Jangan pernah menginjakan kaki di sini lagi!" bentak Rubi tepat di depan wajah Tira.

Rubi berlari ke kamarnya, dan menguncinya rapat- rapat. Ia menangis di balik pintu, terduduk lemas dan terus menangis.

Drttt ....

Dari tadi hp-nya terus bergetar. Sepuluh panggilan tak terjawab dari Raka, dan puluhan pesan yang belum dibaca. Rubi belum sempat untuk membalasnya, pikirannya sedang kacau.

Setelah beberapa menit, Renzo masih berdiri di balik pintu, menunggu Rubi untuk membukanya.

Tok ... tok ... tok ....

"Rubi ... buka pintunya," panggil Renzo lembut.

"Rubi."

"Buka pintunya, Bi. Biarin gue masuk." Renzo masih terus membujuk Rubi untuk membukakan pintunya.

Ceklek ....

Pintunya terbuka. Renzo masuk dan menemukan Rubi terbaring lemah di lantai. Badannya sangat panas dan gemetar. Buru-buru Renzo segera membopongnya dan memindahkannya ke tempat tidur.

"Bi, badan lo panas banget. Bentar ya gue ambilin dulu kompresan."

Tanpa menunggu jawaban dari Rubi, Renzo segera meloncat dari tempat tidur dan turun ke dapur. Saat melewati ruangan utama terlihat Adam dan Tira masih ada di sana. Adam terlihat begitu emosi wajahnya merah padam dan Tira, dia hanya terdiam menunduk, dan menangis.

Renzo jadi merasa tidak enak, melihat pertengkaran hebat keluarga orang lain, dan dirinya tidak berbuat apa-apa, hanya menonton, dia takut berbuat kesalahan, dia hanya tidak ingin ikut campur.

Kemudian Renzo menemukan bi Siti sedang membuat teh di dapur.

"Bi Siti, badan Rubi panas banget, Renzo mau ambil kompresan."

"Ini Nak Renzo, silakan." Bi Siti memberikannya air hangat dan handuk kecil. "Tapi Neng Rubi gapapa kan? Nanti Bibi ke sana ya," sambungnya.

"Iya, Bi."

Renzo kembali ke kamar Rubi. Namun saat masuk, rupanya Rubi sudah tertidur, mungkin setelah menangis tadi matanya lelah dan akhirnya terpejam. Tapi badannya masih panas, jadi Renzo tetap mengompresnya.

Setelah selesai bi Siti datang mengecek. "Gimana sekarang?" tanyanya.

"Dia udah tidur, tapi badannya masih panas. Apa gak sebaiknya kita kasih tau Om Adam, Bi?"

"Udah gapapa, Neng Rubi nya udah tidur, Bibi gamau ganggu. Biar Bibi yang jaga."

Renzo melirik jam di tangannya, sudah pukul sembilan malam. Tidak terasa, ini hampir tengah malam. Bi siti mengisaratkan meminta Renzo pulang, dan Renzo mengerti itu.

"Yaudah, Bi, Renzo pulang dulu. Kalo ada apa-apa segera hubungi Renzo ya."

"Baik Nak Renzo, hati-hati di jalan, ya."

Renzo pamit pulang pada Adam, wajahnya terlihat sangat kacau, tapi hatinya tetap tenang. Untungnya Tira tidak ada saat itu, sepertinya sedang ke toilet, koper yang tadi dibanting Rubi masih ada, menandakan kalau dia belum pergi dari sini.

"Om, maaf, Renzo telah mengganggu keluarga Om dengan kedatangan Renzo sekarang, Renzo tidak bermaksud untuk ikut canpur," jelas Renzo.

Adam menepuk bahu renzo. "Gapapa, justru Om yang malu telah membuat keributan, Om harap kamu bisa jaga rahasia ini ya, ini kan aib keluarga, Om harap kamu mengerti."

"Baik, Om. Rubi udah tidur, Renzo pamit pulang."

"Iya terima kasih ya Nak Renzo, hati-hati di jalannya."

___________

"Kurang ajar! Anak sialan. Harusnya dulu sekalian aja gue bunuh Ibu sama anaknya. Sekarang jadi repot kan." Tira sangat emosi pada Rubi karena telah membongkar tentang perselingkuhannya. Dan Adam percaya itu.

Kini dirinya terancam akan menerima surat perceraian dari pengadilan. Semua impiannya untuk menguasai harta keluarga Adam Dmitri Mendeleev akan musnah, sia-sia sudah usaha yang ia lakukan selama ini.

Tira keluar dari toilet dan kembali duduk di hadapan Adam.

"Saya tidak menyangka kamu berbuat seperti itu, setelah apa yang selama ini saya berikan untuk kamu, dan kamu masih mencari orang lain," ujar Adam tanpa sedikit pun melihat wajahnya.

"Mas harus percaya sama aku, dia hanya rekan kerja waktu dulu, enggak lebih." Tira masih terus membujuk Adam, menjelaskan dengan berbagai alasan palsunya.

"Sebaiknya malam ini kamu jangan dulu tidur di sini. Saya ingin mendinginkan kepala, silakan keluar dari rumah ini!"

"Tapi Mas harus percaya sama aku, ini semua salah paham."

"Silakan pergi!" bentak Adam sambil menunjuk ke arah pintu keluar yang sudah terbuka lebar.

Karena tidak ingin menambah Adam emosi, dengan terpaksa Tira berjalan keluar, tak lupa koper yang telah disiapkan Rubi.

Tira langsung menelpon Toni, meminta untuk segera menjemputnya.

__________

"Saya pikir, Tira akan berubah, ternyata tidak." Adam terus menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin Tira melakukan itu karena ada yang kurang dari diri Adam.

"Harusnya dulu saya menuruti perkataan Rubi, mungkin ini semua gak akan terjadi."

"Sepertinya ini jalan yang paling benar untuk kebaikan semuanya."

Saat itu juga Adam menghubungi pengacara dan meminta untuk melakukan gugatan cerai pada Tira.

Adam pergi ke kamarnya untuk istirahat, karena besok dia ada meeting pagi.

EDELWEIS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang