Baru saja Rubi melangkah masuk ke kelas, kepalanya terasa pening kembali, Rubi cepat-cepat duduk di kursinya.
Karena hari ini Raka tidak akan mengantarnya pulang, Rubi berpikir akan pergi ke Starlight Hospital untuk check-up kondisinya. Rubi mengirim pesan ke mang Jaja untuk menjemputnya sepulang sekolah nanti.
Pelajaran terakhir di kelas, Rubi tidak fokus memperhatikan bu Devi mengajar, untung saja dirinya duduk di pojok kiri dekat tembok, jauh daru meja bu Devi, dirinya duduk menelungkupkan kepalanya di bawah lengannya. Rubi akan meminta Rheni menjelaskan lagi saja nanti jika ada materi yang tidak dipahaminya.
Rheni yang duduk di sampingnya heran karena diam saja dari tadi, Rheni mengecek keadaan Rubi.
"Kenapa lo?" tanyanya.
Yang dipanggil tak kunjung menampakkan wajahnya. Rheni memaksa mengangkat kepala Rubi dan begitu terkejutnya, saat melihat darah segar mengalir di hidungnya yang mungil.
"Rubi, lo mimisan?!"
Seisi kelas tertuju pada mereka berdua, Rheni dibuat khawatir dengan wajah Rubi yang pucat dan suhu tubuhnya yang dingin.
Bu Devi datang mengecek keadaan Rubi, dan memintanya untuk dibawa saja ke UKS. Rheni membopong tubuh Rubi menuju UKS, dan membaringkannya di kasur kabin.
Rheni sibuk mengambil tisu dan mengelap semua darah yang mengenai seragam Rubi dan dirinya. Rubi enggan berbicara, dia masih terbaring lemas. Rheni mengambil air hangat dan memberikannya.
Rheni berniat menghubungi Raka, memberitahu keadaan Rubi saat ini, tapi tangan lemas Rubi mencengkramnya. "Jangan kasih tau siapa-siapa," ujar Rubi lemas.
"Lo sakit, Bi! Gue gak mau khawatirin lo sendirian, Raka pacar lo kan? Gue harus kasih tau dia!" jawab Rheni dengan nada sedikit keras.
Rubi bangun, dan mendudukan tubuhnya. Menatap Rheni lekat lekat. "Lo jangan bilang siapa-siapa ya," ucap Rubi serius.
Rheni terdiam, dan benar-benar menunggu Rubi berbicara.
"Gue sakit leukimia," akunya, kemudian menunduk menghindari tatapan Rheni yang mulai berkaca-kaca.
"Sejak kapan?" tanya Rheni dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Gue tau baru-baru ini."
Mata Rheni terasa panas, dan air matanya sudah menumpuk akan jatuh. "Kenapa ... kenapa lo ga cerita sama gue?"
"Gue mau cerita, cuman lagi cari waktu yang tepat, Rhen," jawabnya jujur.
Rubi kembali menatap Rheni, air matanya sudah menggenang, Rheni sudah tidak sangup membendung, tangisnya pecah.
"Hikss ...."
"Hiksss ...."
Rubi memeluk Rheni erat, dan ikut menitikkan air mata.
"Gue gapapa, Rhen," tuturnya menenangkan Rheni, dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Gue merasa gagal jadi temen yang baik, Bi."
"Hiksss ...."
"Temen macam apa gue ini!" Rheni malah menyalahkan dirinya sendiri.
Ini menjadi salah satu alasan mengapa Rubi sebenarnya tidak ingin memberitahu Rheni soal penyakitnya. Rubi yang sedari tadi berusaha menahan air mata pun, akhirnya lolos begitu saja.
Rubi mengusap air matanya kasar dan menatap Rheni tajam. "Gue masih sehat, gue gapapa, oke? Lo harusnya semangatin gue dong biar cepet sembuh, bukannya cengeng kayak gini," tuturnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Teen FictionKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...