Sekarang dirinya sedang membuntuti seseorang yang tengah berjalan kira-kira lima meter lebih jauh di depannya, berjalan elok nan anggun, tapi sayang dirinya terlihat berjalan sedikit gontai tak bertumpu, jari kanannya mengepal secarik kertas. Menggenggamnya erat.
Lorong panjang yang membentang, hanya mereka berdua yang berada di sana, tapi untung saja gadis cantik itu tidak menyadari keberadaannya. Lantai putih yang bercorakkan abstrak itu terasa licin hingga membuat suara langkah kaki nyaris tidak berdecit sekalipun.
Dirinya terus mengikuti langkah demi langkah, mencari tahu apa yang terjadi. Untuk menjawab segala teka-teki dalam pikirannya.
Dia ... berhenti di depan sebuah ruangan tidak terlalu besar, dengan meja kaca yang mengitari seluruh sampingnya, yang menjadi sekat pembatas. Obat-obatan tersusun rapih di meja kaca, segala macam obat tersedia. Tak lama si penjaga apotek menghampiri dan dia memberikkan kertas yang sedari tadi ia genggam.
Renzo sengaja menahan langkahnya sesaat, memperhitungkan kemungkinannya, Renzo berdiri di belakannya, kemudian saat Rubi berbalik, tubuhnya terbentur dengan dada bidang Renzo dan obat yang di pegangnya terjatuh.
"Aduh ... sorry Mas, saya ga sengaja," ujar Rubi, sambil mengambil obatnya yang terjatuh barusan.
Dengan jelas Renzo melihat nama obat yang menempel di kantongnya itu, dirinya tidak berkutik masih diam berdiri menatap gadis malang yang tengah mengambil obatnnya yang terjatuh.
"K–K–Kak Renzo?" tanyanya gugup.
"Kak Renzo ngapain di sini? Siapa yang sakit?"
"Lo ngapain di sini?" Renzo bertanya balik.
"Rub–Rubi abis ngambil obat," jawabnya.
"Siapa yang sakit?" desak Renzo pura-pura tidak tau.
Rubi, dia menunduk gelisah.
"Rubi," akunya, sambil menunjuk dirinya sendiri. "Jangan bilang siapa-siapa yak, Kak, kalo aku sakit," sambungnya.
"Emang kenapa kalo lo sakit? Sakitkan bukan kemauan lo, ini emang Tuhan yang ngasih, ga ada yang salah," tuturku.
Rubi mengangguk setuju.
"Kak Renzo belum jawab pertanyaan Rubi." Rubi mengangkat kepalanya menatapku.
"Nganter nyokap check-up," jawabku bohong.
"Oh gitu ... emm kalo gitu, Rubi duluan ya, Kak." Rubi berlari meninggalkannya.
Renzo menghampiri Sela, si penjaga apoteker, bertanya. "Maaf Mbak, mau tanya, barusan temen saya sakit apa ya?"
Alisnya berkerut heran. "Mas ini kan temennya, kenapa tidak tanya langsung ke temannya?"
Renzo menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. "Emm ... teman saya gamau ngasih tau, saya khawatir, Mbak."
"Kalo dilihat dari resep obatnya, pasien menderita leukimia, Mas," jawabnya jelas.
"Oh gitu, kalo gitu makasih ya, Mbak."
Renzo berjalan kembali ke arah parkiran dan kembali pulang ke rumahnya.________
Kamar yang sangat luas, ber-cat abu, dengan dekoran minimalisnya membuat kesan lebih elegan dan mewah. Piguran besar bergambar sang pengendara moto gp legendaris Valentino Rossi yang tengah menaiki motornya.
Poster-poster para pengendara kuda besi itu berjejer di setiap sudut kamarnya. Motor mainan tersimpan rapih di nakas miliknya.
Renzo duduk di kursi dekat jendela kamarnya, merenung masih tidak menyangka apa yang terjadi pada Rubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Teen FictionKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...