Setelah bel pulang berbunyi, Rubi segera membereskan bukunya dan pergi ke luar kelas, saat sampai parkiran, Rubi tidak menyangka ternyata Renzo sudah menunggunya.
"Cepet banget udah di sini lagi," ujar Rubi.
"Iya sengaja, biar lo gak kabur."
Padahal niatnya Rubi memang akan segera pulang sebelum Renzo keluar kelas, tapi ternyata Renzo lebih dulu sampai parkiran jadi dirinya tidak bisa kabur.
Renzo memberikan Rubi helm, tapi Rubi rasa seperti mengenal helm yang ia pegang ini.
"Kak Renzo sengaja bawa dua helm?" tanya Rubi.
"Enggak, itu punya orang lain."
"Punya siapa?"
"Bang Puyo."
"HAH?"
Dengan refleksnya Rubi melepaskan helm itu hingga terjatuh menggelinding.
"Eh, jangan dibanting Rubi, itu punya bang Puyo."
Rubi langsung mengambil kembali helm itu, untung aja gak pecah, tapi lumayan lah agak lecet.
"Eh, gak sengaja, tadi tangan Rubi refleks ngelepas gitu aja."
Rubi jadi teringat, ini memang benar punya bang Puyo, waktu itu Rubi pernah melihat bang Puyo di kantin melayani para pembelinya masih pakai helm, mungkin saat itu habis turun dari motor tapi lupa melepasnya, dan itu jadi bahan tawa seisi kantin.
Renzo sudah siap dengan motornya, baru saja akan memakai helmnya, Rubi malah melepasnya lagi.
"Kenapa harus punya bang Puyo, si?"
"Emang kenapa?" Renzo bertanya balik.
"I–ini ... Helm-nya bau."
Rubi sungguh tidak ingin memakainya, helm-nya bau, keringat bang Puyo terjebak di dalam helm ini dan masa iya keringat Rubi harus bercampur dengan keringat bang Puyo.
Renzo malah tertawa melihat wajah Rubi yang kesal karena helmnya yang bau.
"Ihhh malah ketawa!"
"Udahlah gapapa cuma dikit ko baunya."
"Cuma dikit nenekmu, ini bau banget anjir," umpat Rubi dalam hatinya.
"Rubi gamau pake helm."
"Pake Rubi, rumah gue lumayan jauh, jadi lo harus pake helmnya."
"Tapi ...."
"Udah ayo cepetan naik."
Dengan terpaksa akhirnya Rubi pakai helm punya bang puyo itu.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Renzo tak henti hentinya curi-curi pandang, menatap Rubi dari kaca spion. Renzo senyum-senyum sendiri karena melihat wajah Rubi yang tampak kesal dan seperti tidak nyaman memakai helmnya.
"Rumahnya di mana?" tanya Rubi.
"Masih jauh."
Rubi tidak merespon lagi, dia cukup tau dan mengikuti saja. Rubi sedang menikmati indahnya kota Bandung di sore hari, hembusan anginnya yang lembut, membuat segala kepenatan di sekolah tadi langsung hilang?
Bahkan Rubi pun mulai lupa soal helmnya yang bau ini.
Para pedagang kaki lima berjejer di sepanjang trotoar, mulai dari makan tradisional sampai yang lagi hits pun ada. Rubi sudah lama sekali tidak melihat indahnya kota Bandung di sore hari, sepulang sekolah Rubi langsung pulang ke rumah, paling kalau tidak, main ke rumah Rheni.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Fiksi RemajaKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...