Hari Kamis, bumi menangis, ikut bersedih atas apa yang sedang dirasakan Rubi pagi ini. Suasana hatinya belum membaik, mood-nya masih berantakan, Rubi sedang tidak baik-baik saja.
Sejak dini hari tadi, hujan turun tak kenal waktu, mengguyur bumi hingga basah sampai ke permukaan. Tidak terlalu deras, tapi cukup membuat seseorang basah kuyup jika terlalu lama berada di bawahnya.
Sudah tiga hari ini Rubi tidak masuk sekolah. Dia tidak ingin berlama-lama di rumah, dan itu hanya akan membuatnya lebih terbebani karena tumpukan tugas yang belum ia selesaikan. Rubi memutuskan akan pergi bersekolah hari ini.
Sarapannya hanya sekedar saja, kemudian berangkat ke sekolah di antar mang Jaja seperti biasanya. Ayahnya sudah berangkat dua jam yang lalu, jadi Rubi belum bertemu Adam pagi ini.
Sudah setengah perjalanan, Rubi baru ingat ia meninggalkan payungnya di meja makan tadi. Karena mang Jaja juga tidak membawa payung, dengan terpaksa Rubi turun dan berjalan masuk ke sekolah tanpa payung. Ia hanya menggunakan tasnya untuk melindungi kepalanya dari hujan.
Saat Rubi berjalan, tiba-tiba dari arah belakang seseorang memayunginya.
"Payung lo mana?" tanyanya.
Rubi menoleh ke belakang, terkejut dengan kehadirannya.
"Emmm ... ketinggalan, Kak."
Dirinya kembali menunduk tidak sanggup menatap mata Raka yang terlihat dingin dan menusuk, Raka sepertinya sedang marah dengan Rubi.
Dua insan itu masih berdiam di bawah payung hitam, tanpa ada percakapan. Raka menatap Rubi tak berkedip, tapi dia menatap Rubi berbeda dari biasanya.
"Kenapa lo gak bales dan gak angkat telfon gue?"
"Semalem ... Rubi ada problem, jadi ga sempet bales chat-nya Kak Raka. I'am sorry," jelas Rubi. Ia terus menunduk merasa bersalah, tak sanggup melihat wajah Raka.
Tiba-tiba Raka tersenyum smirk, tak percaya dengan apa yng baru saja Rubi katakan. "Alesan ... bilang aja kalo lo emang gamau bales dan angkat telfon gue, iya kan?"
Sontak Rubi mengangkat kepalanya, menatap mata Raka. Matanya sangat berapi-api. Rubi tidak menyangka dengan apa yang diucapkan Raka barusan.
"Rubi gak bohong, Kak, semalem Rubi–"
"Udahlah," decitnya. Raka memotong ucapan Rubi begitu saja. "Gue gak butuh penjelasan dari lo."
Dengan kejamnya, Raka pergi meninggalkan Rubi tanpa payung, Rubi masih terdiam di bawah rintikan hujan yang ternyata semakin deras. Seragamnya mulai basah, tapi Rubi tidak juga bergeser sedikitpun dari tempat asalnya.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, menyadarkan Rubi. Ia langsung menarik lengan Rubi pindah mencari tempat teduh.
"Lo belum mandi, ya?" tanya Renzo dengan wajah datarnya.
Rubi melotot tak percaya dengan pertanyaan bodoh Renzo.
"Yakali belum mandi," jawab Rubi menggerutu.
"Terus ... ngapain ujan-ujanan? Mana sambil bengong lagi."
"Rubi lupa gak bawa payung."
"Yaudah buruan masuk." Renzo melepas hoodie-nya dan memberikannya pada Rubi begitu saja.
"Gue duluan, pake tu hoodie-nya, tapi awas jangan lupa kembaliin," ujarnya. Renzo berlari terbirit-birit ke kelasnya karena hujan.
Rubi yang tadinya emosi, luluh begitu saja, tiba-tiba dibuat berdebar oleh 'teman kecilnya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS [END]
Teen FictionKau tahu sulitnya proses mencapai edelweis? Jika itu sulit, lantas mengapa mawar merah di dekatmu tak kau petik? Sama indahnya, bukan? ~~~~ Rubi Jesi Mendeleev, gadis cantik dengan garis takdir yang tak semolek fisiknya merasa kehidupannya terasa t...