"Han, bangun. Udah jam 7 nih, sarapan nggak?" Suara yang nggak asing membangunkan gue dari tidur gue. Pelan-pelan gue buka mata, ngeliat Mahesa lagi pake baju dia sambil duduk di pinggir tempat tidur.
Gue pun angkat badan gue setengahnya, pake siku yang bertumpu di kasur, ngeliatin Mahesa setengah masih kerasa ngantuk. "Kok nggak dek manggilnya?" tanya gue.
Mahesa noleh ke gue, "Dek, bangun."
Gue balik rebahan terus naik selimut, "nggak mau... satu jam lagi, Mas."
"Biasanya tuh cuma 5 menit lagi, ini pules banget sampe 1 jam lagi, oi!" komentar Mahesa. Tiba-tiba kasur berasa berat, lengan gagah ngedekap gue bersama selimut gue. "Nggak sarapan? Hari ini check out sebelum jam 12 loh?" tanya Mahesa.
"Nggak biasa sarapan," jawab gue bohong—mager kalo musti bangun.
"Oh, tipe yang nggak bisa sarapan pagi ternyata."
Gue anggukin kepala.
"Ya udah, Mas sarapan duluan, ya?"
Abis pamit mau sarapan duluan, akhirnya Mahesa turun dari tempat tidur. Bunyi pintu kamar yang dibuka terus ditutup kedengeran, suasana kamar pun balik sunyi, gue pun bisa balik tidur dengan tenang.
.
.
.
"Han, udah jam 9 loh. Bangun, sarapan dulu."
Gue ngerutin alis, lagi-lagi tidur gue terputus padahal lagi mimpi serem—setelah lama nggak pernah mimpi, akhirnya dapet mimpi; tersesat di suatu tempat yang asing tapi masih bentuk rumah, terus di mimpinya gue liat beberapa orang yang antara gue kenal ama nggak kenal, lagi diiket terus mulut mereka dimasukin—Nggak, nggak, mimpi yang nyeremin gitu nggak boleh diinget-inget.
"Ihan? Kok bengong?"
Gue gelengin kepala, "lagi ngum~~pulin nyawa, hoaamm...!" jawab gue yang sepenuhnya sekarang bangun dari tidur.
Selesai mandi, gue nyamperin Mahesa yang lagi bikin kopi dari kopi gratisan hotel.
"Pake gula, Han?"
"Pake, Mas." Gue ngejawab terus ngambil baju ama celana gue yang udah digantung Mahesa. "Baju kemaren dipake lagi, rasanya aneh."
"Habis ini kan pulang rumah, ganti baju baru." Mahesa nimpalin keluhan gue sambil nyodorin secangkir kopi. "Ditiup dulu, masih panas."
"Makasih," bales gue dan pelan-pelan niup kopi yang dikasih Mahesa.
Tapi waktu gue mau nyeduh, tiba-tiba Mahesa nahan tangan gue. "Bentar, perut lu masih kosong, kan? Nggak boleh minum kopi dulu."
"Dikit doang," celetuk gue, aroma kopi udah menggelitik selera gue pingin minum.
"Nggak, sarapan dulu."
"Keburu dingin!" Gue ngerutin alis ke Mahesa, nahan kopi yang mau diambil Mahesa. "Gue nggak punya riwayat sakit maag juga, nggak papa! Dikit doang, biar bangun!"
"Ya udah, dikit aja."
"Iya, Mas."
Gue akhirnya nyeruput kopi pagi gue, baru beberapa seruputan, Mahesa udah nutup atas cangkir kopi gue pake tangannya. "Udah, sarapan dulu."
Gue bilang ke Mahesa kalo nggak pingin sarapan di hotel, pingin beli roti sandwich di Andomart, terus onigiri ama beli kopi, jadi mending check out langsung aja. Mahesa liatin gue heran, tapi nggak protes apa-apa.
Setelah check out dan bayar tagihan kamar—dibagi dua bayarnya, gue ama Mahesa pun jalan ke Andomart, mini market yang sekarang jadi langganan gue ama Mahesa kalau janjian. Sesampainya di Andomart, gue muter-muter cari apa yang gue lagi pingin, sementara Mahesa duduk di kursi counter dan asyik ama poselnya. Selesai bayar, gue nyamperin Mahesa, duduk sebelah dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
🌟 AND SO, MY SWEETEST ALPHA HUSBAND
General FictionSiapa bilang omega tidak boleh memilih Alpha-nya?! Sekarang ini sudah eranya emansipasi omega! Omega yang satu ini menolak dijodohkan dengan para alpha dari bibit bobot bebet terbaik. Memilih mencari alpha-nya dan jadi pawang sang alpha. Kehidupan r...