Reo Kritis?
Sakit apa sebenarnya Reo? Apakah aku harus mengontaknya? Tapi aku tak mau membuatnya memiliki harapan lagi padaku.
[Sakit apa dia, Ran?]
[Menurut ibunya Pak Reo, awalnya demam tinggi berhari-hari tak makan tak minum membuatnya komplikasi, Bu. Pak Reo sudah tak sadarkan diri beberapa jam.] jawab Rany.
Tak lama ia mengirimkan juga gambar Reo yang sedang terbaring lemah, kurus, tak berdaya.
Ya, Rabb. Reo koma, melihat fotonya aku sungguh tak tega. Jujur ini membuatku shock untuk kedua kalinya hari ini. Apakah aku harus mengabaikan Reo yang koma? Apakah benar Reo sudah bukan urusanku, bukankah statusnya masih suamiku bahkan satu bulan lalu hubungan kami masih baik-baik saja. Ah perasaanku mulai goyah.
Jelas saja, siapa yang tak khawatir mendengar kata koma, bisa saja sesuatu yang berbahaya sedang terjadi lalu kemudian Reo tak terselamatkan. Ah tapi bukankah aku sedang menghindarinya? Aku harus tetap menghindarinya. Akan ada banyak yang mengurusnya. Nanti aku akan kerahkan beberapa anak buah untuk membantu merawatnya 24 jam. Tiga orang sudah sangat cukup.
Sayangnya beberapa kolega yang tak mengetahui hubunganku dengan Reo sedang di ambang perceraian menghubungiku satu-satu. Menanyakan keberadaanku di mana, lalu terus bertanya bagaimana kondisi Reo. Mungkin mereka sudah mengetahui beritanya bahwa Reo sakit dan koma.
Tapi jawaban apa yang harus aku beri sementara aku sendiri belum tahu sedetail apa kondisinya. Mereka semua menguatkan hatiku agar tetap sabar dan tenang. Diperlakukan oleh mereka seperti ini, dalam hati aku jadi merasa bersalah.
Apakah aku pulang saja ke Indonesia saat ini. Ah, sisi hatiku yang lain menolak, namun sisi lainnya lagi jatuh iba. Terus begini membuatku gamang. Kenapa aku jadi tak menikmati liburanku.
Sore itu aku menjadi pusing. Candaan teman-temanku sudah terasa tak lucu lagi ditelingaku. Hatiku seperti terbelah. Oh, kenapa aku masih sebegitu perdulinya kepada Reo. Bagaimana mau memenjarakannya atas tindakannya mengggelapkan uang, mendengarnya sakit saja pikiranku langsung kacau.
Di depan Rany seolah-olah aku tegas, di depan Papa Mama seolah aku baik-baik saja. Padahal hatiku sangat sakit, dilema dan banyak perasaan tak terdefinisi yang membuatku kacau. Reo, tahukah kamu, sulit untuk melupakanmu. Bahkan di depan menara Eiffel ini, wajah Reo masih terus membayangi.
Belum lagi kekhawatiranku terhadap Raya mulai muncul. Mungkin kemarin aku tegas, tapi sisi kewanitaanku sebagai Ibu tetap saja muncul. Terbersit bayangan-bayangan Raya. Sebenarnya aku tak tega. Apakah ia nyaman di sana. Ia harus makan pizza setidaknya dua hari sekali. Ikan salmon panggang bumbu bawang kesukaannya. Kuliahnya yang harus tiba-tiba terhenti. Jahatkah aku?
Ah, mengingat ini semua membuatku sedih. Harus dengan apa aku melupakan semua ini. Ya, tekadku bukankah sudah kuat, harus melupakan semua dan memulai hal baru dalam hidupku. Di sini, dalam perenungan, justru membuatku galau luar biasa.
Mungkin ini bagian terberat dalam melupakan. Seperti pohon ubi jalar yang sedang dicerabut akarnya dari bumi, dari sumber kehidupan dan kekuatannya. Sakit, tapi pohon itu tetap harus dipanen, di ambil buahnya agar memberi manfaat kepada yang lain.
Mungkin benar aku harus pergi bersama Brian, menghabiskan waktu di London dengannya. Membuang candu dari calon mantan anak dan suami dengan melakukan hal-hal baru di sana. Akan sangat menyenangkan bersama Brian yang seru dan humoris itu. Ya, semoga aku bisa cepat melupakan memikirkan dua orang itu di hati ini.
Aku segera membalik badan, berkumpul di meja bersama mereka kembali.
"Jadi naik apa kita lusa?" tanyaku pada Brian.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TERLARANG
RomancePernahkah kita mendengar kisah cinta luar biasa istri pada suaminya, kasih sayang ibu kepada anak angkatnya? Tapi bagaimana jika terjadi ada cinta terlarang di antaranya? Sanggupkah sang nyonya berjuang mengembalikan rumah tangganya kembali menjadi...